pernah diposting di facebook aq
Bagaimana bila kau hidup di antara dua pandangan yang berbeda? Aku, keluarga ibuku diwarnai nuansa Muhammadiyah. Keluarga bapakku diwarnai nuansa NU.
Kedua orangtua bapak dan ibuku (kakek-kakekku) memangku masjid –istilah untuk keluarga yang mengurusi masjid-. Bila sholat subuh berjamaah di masjid keluarga bapak, maka di situ ada qunut, dan sebaliknya bila berjamaah sholah subuh di masjid keluarga ibuk.
Pemakaian qunut pada sholat subuh hanya salah satu perbedaan, masih banyak perbedaan lain dalam hal furu’. Namun yang aku kagumi, dua orang dari latar belakang berbeda dapat menjadi satu dan saling melengkapi.
Begitu pun dalam keluargaku. Bapak dan ibu tak pernah memaksakan pemahaman pada anak-anak mereka –mas ulin, mas fuad, dan aku-. Kami diperbolehkan memilih, namun harus memiliki dasar yang jelas –ittiba’-, bukan hanya sekedar ikut-ikutan –taqlid-.
Aku cukup bahagia dengan perbedaan-perbedaan itu. Aku tidak mau (menjadi) fanatik pada salah satu golongan. Apa yang menurutku baik akan aku ikuti, bila tidak, aku hindari –tanpa menyakiti perasaan salah satu pihak-.
Berada di antara dua pandangan yang berbeda membuatku selalu berhati-hati dalam menentukan tindakan dan kata-kata. Aku tak mau menyakiti salah satunya. Aku hanya tinggal beradaptasi dengan perbedaan itu –dan tak perlu ngotot-.
Hanya yang membuatku gemas adalah orang-orang yang memper’tuhan’kan pendapat mereka -menganggap hanya pendapatnya yang benar, dan kelompok lain salah-.
Mengapa perbedaan furu’ saja bisa jadi perselisihan?
Baik NU maupun Muhammadiyah, pasti punya dasar untuk membuat keputusan. Cendekiawan mereka berijtihad, tidak asal-asalan saja. Dan bukankah menerima pendapat yang berbeda akan menstimulus kita untuk lebih berfikir bahwa tidak ada manusia yang sempurna?
Jujur, hatiku terusik saat ada yang memperdebatkan dua pandangan itu. Bila orang NU mempertentangkan Muhammadiyah, hatiku sakit sebab keluargaku di sana. Bila orang Muhammadiyah mempertentangkan NU, hatiku sakit sebab keluargaku ada di sana.
Perbedaan bisa menjadi indah bila kita bisa saling menghormati dan menjaga. Kedua keluargaku –keluarga bapak dan keluarga ibuk- saja bisa. Tidak ada pertentangan dalam perbedaan, sebab adanya kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.
Aku berada di antara dua keluarga yang berbeda dalam hal furu’, tapi kami sama dalam beragama. Satu Tuhan, satu Rasul, satu Kitab Suci. Maka aku (merasa lebih suka bila) tak menyebut keluargaku NU atau Muhammadiyah, tapi aku menyebut ’Keluargaku Islam’, dan (terasa) leburlah segala perbedaan.
This is Me
- fatati fadillah
- Hi! My name is Fatati Fadillah and you can call me 'ila'. I'm a teacher and so much love about crafting. Blitar is my lovely hometown, visit it to prove it! ^_^
Followers
Facebook Badge
Sabtu, 16 April 2011
Metode Pendidikan Islam; Pendidikan Melalui Keteladanan
Judul makalah : Metode Pendidikan Islam; Pendidikan Melalui Keteladanan
Makalah Teori Belajar dan Pembelajaran
Malang : Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, Mei 2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam Al Quran dan Sunnah Nabi SAW dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Metode tersebut mampu menggugah puluhan ribu kaum mu’minin untuk membuka hati umat manusia agar dapat menerime petunjuk Ilahi dan kebudayaan Islami, di samping mengokohkan kedudukan mereka di muka bumi dalam masa yang sangat panjang, suatu kedudukan yang belum pernah dirasakan oleh umat-umat lain di muka bumi. Pembahasan tentang metodologi pendidikan Islami ini mengandung harapan, kiranya penulis dapat memetik petunjuk mengenai metodologi pendidikan Islami tersebut.
Banyak metodologi pendidikan Islam, dalam makalah ini penulis membahas tentang metode pendidikan Islam melalui keteladanan. Kehidupan ini sebagian besar dilalui dengan saling meniru atau mencontoh oleh manusia yang satu dengan yang lainnya. Kecenderungan mencontoh itu sangat besar pengaruhnya pada anak-anak, sehingga sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan. Sesuatu yang dicontoh, ditiru, atau diteladani itu mungkin yang bersifat baik dan mungkin pula bernilai keburukan. Untuk itu bagi umat Islam, keteladanan yang paling baik dan utama, terdapat di dalam diri dan pribadi Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.”
Dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya. Dengan keteladanan itu diharapkan anak didik akan mencontoh segala sesuatu yang baik di dalam perkataan maupun perbuatan pendidiknya.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pentingnya figur keteladanan
2. Nilai edukatif yang teraplikasikan
3. Landasan psikologis keteladanan
4. Nilai-nilai edukatif dalam keteladanan
I.3 Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Berdasarkan pada rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang pentingnya figur keteladanan.
2. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang nilai edukatif yang teraplikasikan.
3. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang landasan psikologis keteladanan.
4. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang nilai-nilai edukatif dalam keteladanan
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pentingnya Figur Keteladanan
a. Kita mungkin saja dapat menemukan suatu sistem pendidikan yang sempurna, menggariskan tahapan-tahapan yang serasi bagi perkembangan manusia, menata kecenderungan dan kehidupan psikis, emosional maupun cara-cara penuangannya dalam bentuk perilaku, serta strategi pemanfaatan potensinya sesempurna mungkin. Akan tetapi semua ini masih memerlukan realisasi edukatif yang dilaksanakan oleh seorang pendidik. Pelaksanaannya itu memerlukan seperangkat metode dan tindakan pendidikan, dalam rangka mewujudkan asas yang melandasinya, metode yang merupakan patokannya dalam bertindak serta tujuan pendidikannya yang diharapkan dapat dicapai. Ini semua hendaknya ditata dalam suatu sistem pendidikan yang menyeluruh dan terbaca dalam perangkat tindakan dan perilaku yang konkrit.
Oleh karena itu Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW agar menjadi teladan bagi seluruh umat manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan Islami tersebut :
Aisyah RA pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW. Ia menjawab, bahwa akhlak beliau adalah Al Quran.
b. Dengan kepribadian, sifat tingkah laku dan pergaulannya bersama sesama manusia, Rasulullah SAW benar-benar merupakan interpretasi praktis yang manusiawi dalam menghidupkan hakikat, ajaran, adab, dan tasyri’ Al Quran, yang melandasi perbuatan pendidikan Islam serta penerapan metode pendidikan Qurani yang terdapat di dalam ajaran tersebut.
c. Manusia telah diberi fitrah untuk mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi mereka, yang menerangi jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan kepada mereka bagaimana seharusnya melaksanakan syariat Allah. Oleh karena itu untuk merealisasikan risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para RasulNya yang menjelaskan kepada manusia syariat yang diturunkan Allah kepada mereka. Allah SWT berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (43) keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (44).”
d. Fitrah ini tampak pada umat manusia dalam kondisi yang mungkin asing bagi mereka artinya : mungkin bagi sebagian mereka tampak asing, tetapi bagi sebagian yang lain tidak. Hal seperti ini pernah terjadi sewaktu Allah menghendaki agar RasulNya menikah dengan istri Zaid, anak angkat Rasulullah SAW. Allah menghendaki yang demikian itu untuk menerangkan kepada umat manusia secara praktis, bahwa Zaid (anak angkat) sedikit pun tidak mempunyai bagian dari hak-hak atau peraturan-peraturan keanakan yang alami. Allah SWT berfirman :
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
e. Fitrah ini juga tampak dalam kondisi yang mungkin memerlukan pengorbanan, seperti perang, infak, dan lain sebagainya. Dalam beberapa peperangan, Rasulullah SAW tampil bersama para sahabat atau setidak-tidaknya memimpin mereka dari markas komando. Dalam perang khandaq, beliau langsung turun tangan ikut mengangkat batu, menggali parit bersama para sahabat, dan belepotan tanah seperti para sahabatnya itu. Dengan tindakannya itu beliau tampil sebagai contoh teladan yang patut ditiru para pendidik untuk langsung turun tangan bersama anak buahnya, maka umat Islam mengagumi keberanian dan kesabarannya serta meneladani perbuatannya itu.
Rasulullah SAW tampil pula sebagai teladan dalam kehidupan suami-istri, dalam kesabaran menghadapi keluarganya, dan dalam mengarahkan istri-istrinya dengan baik. Beliau bersabda :
“Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Hibban).
Kehidupan Rasulullah SAW sebagai ayah, kebaikannya dalam berinteraksi dengan anak kecil, para sahabat, dan tetangganya, juga merupakan teladan. Beliau senantiasa berupaya memenuhi berbagai kebutuhan kaum muslimin. Beliau adalah manusia yang paling memenuhi janjinya, manusia yang terpercaya dalam memegang barang titipan, manusia yang paling wara dan hati-hati dalam memelihara harta titipan Allah dan dalam mengonsumsi makanan sehingga beliau tidak pernah memakan harta zakat. Dalam kondisi bagaimana pun, beliau senantiasa tampil teguh dan tidak kehilangan semangat karena beliau meyakini bahwa Allah senantiasa menjadi sumber kekuatan sehingga beliau tetap memperoleh kesabaran.
II.2 Nilai Edukatif yang Teraplikasikan
Tinjauan dari sudut ilmiah menunjukkan bahwa pada dasarnya keteladanan memiliki sejumlah azas kependidikan berikut ini :
Pertama, pendidikan Islami merupakan konsep yang senantiasa menyeru pada jalan Allah. Dengan demikian, seorang pendidik dituntut untuk menjadi teladan di hadapan anak didiknya, bersegera untuk berkorban, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang hina. Artinya, setiap anak didik akan meneladani pendidiknya dan benar-benar puas terhadap ajaran yang diberikan kepadanya sehingga perilaku ideal yang diharapkan dari setiap anak merupakan tuntutan realistis dan dapat diaplikasikan. Begitu juga dengan orang tua; anak-anak harus memiliki figur teladan dalam keluarganya sehingga sejak kecil dia terarahkan oleh konsep-konsep Islam. Dengan begitu, para pendidik dan orang tua harus menyempurnakan dirinya dengan akhlak mulia yang berasal dari Al Quran dan dari perilaku Rasulullah SAW.
Kedua, sesungguhnya Islam telah menjadikan kepribadian Rasulullah SAW sebagai teladan abadi dan aktual bagi pendidik dan generasi muda sehingga setiap kali kita membaca riwayat beliau, semakin bertambahlah kecintaan dan hasrat kita untuk meneladani beliau. Yang perlu kita garisbawahi, Islam tidak menyajikan keteladanan ini untuk menunjukkan kekaguman yang negatif atau perenungan yang terjadi dalam alam imajinasi belaka. Islam menyajikan keteladanan ini agar manusia menerapkan suri teladan ini kepada dirinya sendiri. Setiap orang harus mengambilnya sesuai dengan kesanggupan dan bersabar dalam menggapai puncak perolehannya. Demikianlah, keteladanan dalam Islam senantiasa terlihat dan tergambar jelas sehingga tidak beralih menjadi imajinasi kecintaan spiritual tanpa dampak yang nyata. Barangkali yang mempermudah transfer keteladanan itu ialah kesiapan peniruan yang menjadi karakteristik manusia.
II.3 Landasan Psikologis Keteladanan
Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain (empati) sehingga dalam peniruan ini, anak-anak cenderung meniru orang dewasa; kaum lemah cenderung meniru kaum kuat; serta bawahan cenderung meniru atasannya. Naluri ketundukkan pun bisa dikategorikan sebagai pendorong untuk meniru, terutama anggota suatu kelompok pada pemimpin kelompok tersebut. Dan dalam perkembangannya, naluri untuk meniru itu mulai terarahkan dan mencapai puncaknya ketika konsep pendidikan Islam mulai ditegakkan sehingga naluri meniru disempurnakan oleh adanya kesadaran, ketinggian, dan tujuan yang mulia. Hal itu akan menjadi jelas jika kita mengetahui unsur-unsur peniruan dan azas-azasnya.
Pada hakikatnya, peniruan itu berpusat pada tiga unsur berikut ini :
Pertama, kesenangan untuk meniru dan mangikuti. Lebih jelasnya hal itu terjadi pada anak-anak dan remaja. Mereka terdorong oleh keinginan samar yang tanpa disadari membawa mereka pada peniruan gaya bicara, cara bergerak, cara bergaul, atau perilaku-perilaku lain dari orang yang mereka kagumi. Masalah timbul ketika mereka bukan hanya meniru hal-hal positif. Pada gilirannya, mereka mulai meniru perilaku-perilaku buruk. Dalam hal ini Al Quran telah memberikan peringatan kepada para orang tua, terutama ayah. Ketika seorang ayah memberikan kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya, semaksimal mungkin dia harus berusaha untuk memelihara kedudukannya sebagai sosok teladan bagi anak-anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya :
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Allah menyifati hamba-hambaNya dengan sifat kasih sayang sehingga mereka berhasrat mendapat kesenangan melalui istri dan anak-anaknya, sebagaimana halnya mereka ingin menjadi imam dan teladan.
Rasulullah SAW mengingatkan kecenderungan saling pengaruh antarmanusia dan menyeru umat manusia untuk mewaspadai manfaat dan kerugian kecenderungan tersebut. Dari Abu ‘Amr dan Jarir bin Abdullah, Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa membuat sunnah (tradisi) yang baik di dalam Islam, maka ia akan menerima pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan sunnah itu hingga hari kiamat, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka itu. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia akan menerima dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka itu.” (HR Muslim).
Sabda Rasulullah SAW itu merupakan seruan kepada para sahabat untuk memberikan shadaqah kepada segolongan kaum yang miskin. Namun, tidak ada seorang pun yang melakukannya. Kemudian Rasulullah SAW mengulangi seruannya hingga bangkitlah para sahabat. Hasilnya, ada sahabat yang datang dengan sepikul kurma, kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya. Maka mereka berlomba-lomba membawa harta miliknya untuk disedekahkan. Setelah itu Rasulullah SAW menyeru lewat sabda di atas.
Kedua, kesiapan untuk meniru. Setiap periode usia manusia memiliki kesiapan dan potensi yang terbatas untuk periode tersebut. Karena itulah, Islam mengenakan kewajiban shalat pada anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun dengan tetap menganjurkan kepada orang tua untuk mengajak anaknya meniru gerakan-gerakan shalat. Namun, orang tua harus tetap memperhitungkan kesiapan dan potensi ketika anak-anak meniru seseorang.
Biasanya, kesiapan untuk meniru muncul ketika manusia tengah mengalami berbagai krisis, kepedihan sosial, dan kepedihan lainnya. Dari sanalah, manusia-manusia itu mencari anutan atau pemimpin yang seluruh perilaku individual dan sosialnya akan ditiru. Begitulah, kondisi lemah dapat membawa manusia pada peniruanterhadap pihak-pihak yang lebih kuat sehingga seorang anggota senantiasa meniru pemimpinnya dan seorang anak meniru ayahnya. Ibnu Khaldun, dalam Muqadimahnya mengingatkan kita pada konsep tersebut melalui argumen dan fakta sejarah yang menunjukkan hal itu. Sementara itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk mewaspadai hal-hal negatif yang terkandung dalam sikap meniru tersebut, terutama jika tujuan peniruan itu sendiri tidak jelas, sebagaimana sabdanya ini :
“Sesungguhnya kalian akan mengikuti tradisi orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” (Al Hadits).
Ketiga, setiap peniruan terkadang memiliki tujuan yang sudah diketahui oleh si peniru atau bisa jadi juga tujuan itu sendiri tidak jelas, bahkan tidak ada. Pada dasarnya, di kalangan anak-anak, peniruan lebih cenderung didorong oleh tujuan kehidupan yang difensif, yaitu kecenderungan mempertahankan dunia individual karena seolah-olah dia berada di bawah bayang-bayang individu yang kuat dan perkasa, yang membuat orang lemah menirunya. Dari peniruan ini, dia merasa memperoleh kekuatan dan keperkasaan, yaitu sejenis kekuatan individu yang menjadikan orang lain kagum sehingga menirunya dalam segala hal. Kegiatan meniru itu akan meningkat menjadi kegiatan berpikir yang memadukan kesadaran, keterkaitan, peniruan, dan perasaan bangga jika pada perkembangannya kesadaran dalam peniruannya meningkat. Dalam pendidikan Islam, peniruan yang berkesadaran ini meningkat menjadi ittiba’ yang jenisnya akan terus meningkat bila disertai petunjuk atau pengetahuan tentang tujuan dan cara peniruan. Sehubungan dengan konsep ini, Allah SWT telah berfirman :
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
Melalui konsep peniruan yang Islami, anak-anak didik kita akan memahami bahwa meniru dan mengikuti jejak para pemimpin kaum muslimin generasi pertama akan memberikan kebahagiaan, kekuatan, kegagahan, dan ketaatan kepada Allah. Dalam setiap shalatnya, mereka senantiasa mengharapkan anugerah kemampuan untuk tetap mengikuti mereka:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7).”
II.4 Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Di antara tipe-tipe peneladanan, yang terpenting ialah :
a. Pengaruh Langsung yang Tak Disengaja
Keberhasilan tipe peneladanan ini banyak bergantung pada kualitas kesungguhan realisasi karakteristik yang diteladankan, seperti: keilmuan, kepemimpinan, keikhlasan, atau lain sebagainya. Dalam kondisi ini pengaruh teladan berjalan secara langsung tanpa disengaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang diharapkan menjadi teladan hendaknya memelihara tingkah lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggung jawab di hadapan Allah dalam segala hal yang diikuti oleh orang lain. Khususnya pada pengagumnya. Kualitas kewaspadaan dan keikhlasannya bertambah, seiring sejalan dengan derajat kekaguman serta tingkat peneladanan orang lain terhadapnya.
b. Pengaruh yang Sengaja
Kadangkala peneladanan diupayakan secara sengaja. Maka kita dapatkan umpamanya guru memberikan contoh membaca yang baik agar para pelajar menirunya, imam membaikkan shalatnya untuk mengajarkan shalat yang sempurna kepada orang-orang, dan komandan maju ke depan barisan di dalam jihad untuk menanamkan keberanian, pengorbanan, dan kegigihan di dalam jiwa pasukannya.
Para sahabat telah mempelajari berbagai urusan agama mereka dengan jalan mengikuti teladan yang sengaja diberikan Rasulullah SAW. Umpamanya, beliau bersabda kepada mereka :
“Shalatlah kalain sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari).
Juga dalam melaksanakan ibadah haji beliau menyuruh mereka supaya mencontohnya :
“Ambillah dariku cara-cara mengerjakan ibadah haji kalian.” (Al Hadits).
Sebagai contoh bahwa teladan beliau sangat diperhatikan, seorang sahabat bertanya kepada para tabi’in: “Apakah aku tidak shalat seperti shalat Rasulullah SAW sebagai contoh bagi kalian?”
Rasulullah SAW pernah shalat di atas mimbar. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa mimbar itu mempunyai tiga tingkat. Beliau berdiri di atas mimbar itu lalu bertakbir dan orang-orang bertakbir pula di belakangnya, sedangkan beliau berada di atas mimbar; lalu ruku’ dan beliau pun tetap berada di atas mimbar itu. Kemudian bangkit lalu turun mundur ke belakang hingga beliau sujud pada mimbar itu; kemudian beliau kembali, di dalam rakaat itu beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, hingga selesai shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada orang-orang, seraya bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti aku dan agar kalian mempelajari shalatku ini.” (HQ Bukhari Muslim).
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa kadang-kadang Rasulullah SAW memperdengarkan ayat di dalam shalat Dhuhur, padahal ia termasuk shalat-shalat yang bacaannya tidak dibaca terang.
Demikianlah Rasulullah SAW peletak pendidikan Islam, mengajarkan kepada kita agar pendidik mengajar dengan perbuatan-perbuatannya; menarik perhatian meeka supaya mencontohnya, karena dia sendiri mencontoh Rasulullah SAW dan hendaknya memperbaiki shalat, ibadah, dan tingkah lakunya secara sengaja, sehingga ia memperoleh pahala “orang yang membuat tradisi yang baik” hingga hari kiamat.
BAB III
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
a. Pentingnya Figur Keteladanan
Nabi Muhammad SAW merupakan suri teladan di dalam kehidupan. Beliau adalah figur suri teladan kebapakan dan dalam memperlakukan anak-anak kecil, dalam pergaulan dengan para sahabat serta tetangga dengan baik. Beliau selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslimin. Lebih lanjut beliau adalah orang yang paling teguh berpegang kepada janjinya, paling dipercaya dalam menjaga titipan, paling wara’ dan paling berhati-hati dalam makan harta sedekah, ataupun dalam menjaga harta kaum Muslimin yang dititipkan Allah SWT kepada beliau.
b. Nilai Edukatif yang Teraplikasikan
Apabila dikaji secara ilmiah dapatlah disingkap bahwa keteladanan bertopang pada azas pendidikan yang kuat serta memiliki implikasi paedagogis :
1. Pola pendidikan Muslim tercermin dari kehidupan da’i kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, ia perlu menjadi teladan bagi para pelajarnya, selalu siap dan rela berkorban, serta menghindari perbuatan yang tidak berarti.
2. Islam telah menjadikan pribadi Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang terus-menerus bagi seluruh pendidik, suri teladan yang selalu baru bagi generasi demi generasi, dan selalu aktual dalam kehidupan manusia; setiap kali kita membaca riwayat kehidupannya bertambah pula kecintaan kita kepadanya dan tergugah pula keinginan untuk meneladaninya.
c. Landasan Psikologis Keteladanan
Kebutuhan manusia akan teladan lahir dari gharizah (naluri) yang bersemayam dalam jiwa manusia, yaitu taqlid (peniruan). Ada tiga anasir taqlid :
1. Keinginan untuk meniru dan mencontoh.
2. Kesiapan untuk meniru
3. Tujuan
d. Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Pola pengaruh keteladanan berpindah kepada peniru melalui beberapa bentuk, dan bentuk yang paling penting adalah :
1. Pemberian pengaruh secara spontan
2. Pemberian pengaruh secara sengaja.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Quran Digital Versi 2.0.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta : Gema Insani Press.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro.
Mazhairi, Husain. 2001. Pintar Mendidik Anak : Panduan Lengkap Bagi Orang-tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam. Jakarta : Lentera.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya : Al-Ikhlas.
Ramayulis. 1990. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
Makalah Teori Belajar dan Pembelajaran
Malang : Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, Mei 2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam Al Quran dan Sunnah Nabi SAW dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Metode tersebut mampu menggugah puluhan ribu kaum mu’minin untuk membuka hati umat manusia agar dapat menerime petunjuk Ilahi dan kebudayaan Islami, di samping mengokohkan kedudukan mereka di muka bumi dalam masa yang sangat panjang, suatu kedudukan yang belum pernah dirasakan oleh umat-umat lain di muka bumi. Pembahasan tentang metodologi pendidikan Islami ini mengandung harapan, kiranya penulis dapat memetik petunjuk mengenai metodologi pendidikan Islami tersebut.
Banyak metodologi pendidikan Islam, dalam makalah ini penulis membahas tentang metode pendidikan Islam melalui keteladanan. Kehidupan ini sebagian besar dilalui dengan saling meniru atau mencontoh oleh manusia yang satu dengan yang lainnya. Kecenderungan mencontoh itu sangat besar pengaruhnya pada anak-anak, sehingga sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan. Sesuatu yang dicontoh, ditiru, atau diteladani itu mungkin yang bersifat baik dan mungkin pula bernilai keburukan. Untuk itu bagi umat Islam, keteladanan yang paling baik dan utama, terdapat di dalam diri dan pribadi Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.”
Dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya. Dengan keteladanan itu diharapkan anak didik akan mencontoh segala sesuatu yang baik di dalam perkataan maupun perbuatan pendidiknya.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pentingnya figur keteladanan
2. Nilai edukatif yang teraplikasikan
3. Landasan psikologis keteladanan
4. Nilai-nilai edukatif dalam keteladanan
I.3 Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Berdasarkan pada rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang pentingnya figur keteladanan.
2. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang nilai edukatif yang teraplikasikan.
3. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang landasan psikologis keteladanan.
4. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang nilai-nilai edukatif dalam keteladanan
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pentingnya Figur Keteladanan
a. Kita mungkin saja dapat menemukan suatu sistem pendidikan yang sempurna, menggariskan tahapan-tahapan yang serasi bagi perkembangan manusia, menata kecenderungan dan kehidupan psikis, emosional maupun cara-cara penuangannya dalam bentuk perilaku, serta strategi pemanfaatan potensinya sesempurna mungkin. Akan tetapi semua ini masih memerlukan realisasi edukatif yang dilaksanakan oleh seorang pendidik. Pelaksanaannya itu memerlukan seperangkat metode dan tindakan pendidikan, dalam rangka mewujudkan asas yang melandasinya, metode yang merupakan patokannya dalam bertindak serta tujuan pendidikannya yang diharapkan dapat dicapai. Ini semua hendaknya ditata dalam suatu sistem pendidikan yang menyeluruh dan terbaca dalam perangkat tindakan dan perilaku yang konkrit.
Oleh karena itu Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW agar menjadi teladan bagi seluruh umat manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan Islami tersebut :
Aisyah RA pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW. Ia menjawab, bahwa akhlak beliau adalah Al Quran.
b. Dengan kepribadian, sifat tingkah laku dan pergaulannya bersama sesama manusia, Rasulullah SAW benar-benar merupakan interpretasi praktis yang manusiawi dalam menghidupkan hakikat, ajaran, adab, dan tasyri’ Al Quran, yang melandasi perbuatan pendidikan Islam serta penerapan metode pendidikan Qurani yang terdapat di dalam ajaran tersebut.
c. Manusia telah diberi fitrah untuk mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi mereka, yang menerangi jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan kepada mereka bagaimana seharusnya melaksanakan syariat Allah. Oleh karena itu untuk merealisasikan risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para RasulNya yang menjelaskan kepada manusia syariat yang diturunkan Allah kepada mereka. Allah SWT berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (43) keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (44).”
d. Fitrah ini tampak pada umat manusia dalam kondisi yang mungkin asing bagi mereka artinya : mungkin bagi sebagian mereka tampak asing, tetapi bagi sebagian yang lain tidak. Hal seperti ini pernah terjadi sewaktu Allah menghendaki agar RasulNya menikah dengan istri Zaid, anak angkat Rasulullah SAW. Allah menghendaki yang demikian itu untuk menerangkan kepada umat manusia secara praktis, bahwa Zaid (anak angkat) sedikit pun tidak mempunyai bagian dari hak-hak atau peraturan-peraturan keanakan yang alami. Allah SWT berfirman :
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
e. Fitrah ini juga tampak dalam kondisi yang mungkin memerlukan pengorbanan, seperti perang, infak, dan lain sebagainya. Dalam beberapa peperangan, Rasulullah SAW tampil bersama para sahabat atau setidak-tidaknya memimpin mereka dari markas komando. Dalam perang khandaq, beliau langsung turun tangan ikut mengangkat batu, menggali parit bersama para sahabat, dan belepotan tanah seperti para sahabatnya itu. Dengan tindakannya itu beliau tampil sebagai contoh teladan yang patut ditiru para pendidik untuk langsung turun tangan bersama anak buahnya, maka umat Islam mengagumi keberanian dan kesabarannya serta meneladani perbuatannya itu.
Rasulullah SAW tampil pula sebagai teladan dalam kehidupan suami-istri, dalam kesabaran menghadapi keluarganya, dan dalam mengarahkan istri-istrinya dengan baik. Beliau bersabda :
“Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Hibban).
Kehidupan Rasulullah SAW sebagai ayah, kebaikannya dalam berinteraksi dengan anak kecil, para sahabat, dan tetangganya, juga merupakan teladan. Beliau senantiasa berupaya memenuhi berbagai kebutuhan kaum muslimin. Beliau adalah manusia yang paling memenuhi janjinya, manusia yang terpercaya dalam memegang barang titipan, manusia yang paling wara dan hati-hati dalam memelihara harta titipan Allah dan dalam mengonsumsi makanan sehingga beliau tidak pernah memakan harta zakat. Dalam kondisi bagaimana pun, beliau senantiasa tampil teguh dan tidak kehilangan semangat karena beliau meyakini bahwa Allah senantiasa menjadi sumber kekuatan sehingga beliau tetap memperoleh kesabaran.
II.2 Nilai Edukatif yang Teraplikasikan
Tinjauan dari sudut ilmiah menunjukkan bahwa pada dasarnya keteladanan memiliki sejumlah azas kependidikan berikut ini :
Pertama, pendidikan Islami merupakan konsep yang senantiasa menyeru pada jalan Allah. Dengan demikian, seorang pendidik dituntut untuk menjadi teladan di hadapan anak didiknya, bersegera untuk berkorban, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang hina. Artinya, setiap anak didik akan meneladani pendidiknya dan benar-benar puas terhadap ajaran yang diberikan kepadanya sehingga perilaku ideal yang diharapkan dari setiap anak merupakan tuntutan realistis dan dapat diaplikasikan. Begitu juga dengan orang tua; anak-anak harus memiliki figur teladan dalam keluarganya sehingga sejak kecil dia terarahkan oleh konsep-konsep Islam. Dengan begitu, para pendidik dan orang tua harus menyempurnakan dirinya dengan akhlak mulia yang berasal dari Al Quran dan dari perilaku Rasulullah SAW.
Kedua, sesungguhnya Islam telah menjadikan kepribadian Rasulullah SAW sebagai teladan abadi dan aktual bagi pendidik dan generasi muda sehingga setiap kali kita membaca riwayat beliau, semakin bertambahlah kecintaan dan hasrat kita untuk meneladani beliau. Yang perlu kita garisbawahi, Islam tidak menyajikan keteladanan ini untuk menunjukkan kekaguman yang negatif atau perenungan yang terjadi dalam alam imajinasi belaka. Islam menyajikan keteladanan ini agar manusia menerapkan suri teladan ini kepada dirinya sendiri. Setiap orang harus mengambilnya sesuai dengan kesanggupan dan bersabar dalam menggapai puncak perolehannya. Demikianlah, keteladanan dalam Islam senantiasa terlihat dan tergambar jelas sehingga tidak beralih menjadi imajinasi kecintaan spiritual tanpa dampak yang nyata. Barangkali yang mempermudah transfer keteladanan itu ialah kesiapan peniruan yang menjadi karakteristik manusia.
II.3 Landasan Psikologis Keteladanan
Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain (empati) sehingga dalam peniruan ini, anak-anak cenderung meniru orang dewasa; kaum lemah cenderung meniru kaum kuat; serta bawahan cenderung meniru atasannya. Naluri ketundukkan pun bisa dikategorikan sebagai pendorong untuk meniru, terutama anggota suatu kelompok pada pemimpin kelompok tersebut. Dan dalam perkembangannya, naluri untuk meniru itu mulai terarahkan dan mencapai puncaknya ketika konsep pendidikan Islam mulai ditegakkan sehingga naluri meniru disempurnakan oleh adanya kesadaran, ketinggian, dan tujuan yang mulia. Hal itu akan menjadi jelas jika kita mengetahui unsur-unsur peniruan dan azas-azasnya.
Pada hakikatnya, peniruan itu berpusat pada tiga unsur berikut ini :
Pertama, kesenangan untuk meniru dan mangikuti. Lebih jelasnya hal itu terjadi pada anak-anak dan remaja. Mereka terdorong oleh keinginan samar yang tanpa disadari membawa mereka pada peniruan gaya bicara, cara bergerak, cara bergaul, atau perilaku-perilaku lain dari orang yang mereka kagumi. Masalah timbul ketika mereka bukan hanya meniru hal-hal positif. Pada gilirannya, mereka mulai meniru perilaku-perilaku buruk. Dalam hal ini Al Quran telah memberikan peringatan kepada para orang tua, terutama ayah. Ketika seorang ayah memberikan kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya, semaksimal mungkin dia harus berusaha untuk memelihara kedudukannya sebagai sosok teladan bagi anak-anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya :
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Allah menyifati hamba-hambaNya dengan sifat kasih sayang sehingga mereka berhasrat mendapat kesenangan melalui istri dan anak-anaknya, sebagaimana halnya mereka ingin menjadi imam dan teladan.
Rasulullah SAW mengingatkan kecenderungan saling pengaruh antarmanusia dan menyeru umat manusia untuk mewaspadai manfaat dan kerugian kecenderungan tersebut. Dari Abu ‘Amr dan Jarir bin Abdullah, Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa membuat sunnah (tradisi) yang baik di dalam Islam, maka ia akan menerima pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan sunnah itu hingga hari kiamat, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka itu. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia akan menerima dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka itu.” (HR Muslim).
Sabda Rasulullah SAW itu merupakan seruan kepada para sahabat untuk memberikan shadaqah kepada segolongan kaum yang miskin. Namun, tidak ada seorang pun yang melakukannya. Kemudian Rasulullah SAW mengulangi seruannya hingga bangkitlah para sahabat. Hasilnya, ada sahabat yang datang dengan sepikul kurma, kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya. Maka mereka berlomba-lomba membawa harta miliknya untuk disedekahkan. Setelah itu Rasulullah SAW menyeru lewat sabda di atas.
Kedua, kesiapan untuk meniru. Setiap periode usia manusia memiliki kesiapan dan potensi yang terbatas untuk periode tersebut. Karena itulah, Islam mengenakan kewajiban shalat pada anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun dengan tetap menganjurkan kepada orang tua untuk mengajak anaknya meniru gerakan-gerakan shalat. Namun, orang tua harus tetap memperhitungkan kesiapan dan potensi ketika anak-anak meniru seseorang.
Biasanya, kesiapan untuk meniru muncul ketika manusia tengah mengalami berbagai krisis, kepedihan sosial, dan kepedihan lainnya. Dari sanalah, manusia-manusia itu mencari anutan atau pemimpin yang seluruh perilaku individual dan sosialnya akan ditiru. Begitulah, kondisi lemah dapat membawa manusia pada peniruanterhadap pihak-pihak yang lebih kuat sehingga seorang anggota senantiasa meniru pemimpinnya dan seorang anak meniru ayahnya. Ibnu Khaldun, dalam Muqadimahnya mengingatkan kita pada konsep tersebut melalui argumen dan fakta sejarah yang menunjukkan hal itu. Sementara itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk mewaspadai hal-hal negatif yang terkandung dalam sikap meniru tersebut, terutama jika tujuan peniruan itu sendiri tidak jelas, sebagaimana sabdanya ini :
“Sesungguhnya kalian akan mengikuti tradisi orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” (Al Hadits).
Ketiga, setiap peniruan terkadang memiliki tujuan yang sudah diketahui oleh si peniru atau bisa jadi juga tujuan itu sendiri tidak jelas, bahkan tidak ada. Pada dasarnya, di kalangan anak-anak, peniruan lebih cenderung didorong oleh tujuan kehidupan yang difensif, yaitu kecenderungan mempertahankan dunia individual karena seolah-olah dia berada di bawah bayang-bayang individu yang kuat dan perkasa, yang membuat orang lemah menirunya. Dari peniruan ini, dia merasa memperoleh kekuatan dan keperkasaan, yaitu sejenis kekuatan individu yang menjadikan orang lain kagum sehingga menirunya dalam segala hal. Kegiatan meniru itu akan meningkat menjadi kegiatan berpikir yang memadukan kesadaran, keterkaitan, peniruan, dan perasaan bangga jika pada perkembangannya kesadaran dalam peniruannya meningkat. Dalam pendidikan Islam, peniruan yang berkesadaran ini meningkat menjadi ittiba’ yang jenisnya akan terus meningkat bila disertai petunjuk atau pengetahuan tentang tujuan dan cara peniruan. Sehubungan dengan konsep ini, Allah SWT telah berfirman :
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
Melalui konsep peniruan yang Islami, anak-anak didik kita akan memahami bahwa meniru dan mengikuti jejak para pemimpin kaum muslimin generasi pertama akan memberikan kebahagiaan, kekuatan, kegagahan, dan ketaatan kepada Allah. Dalam setiap shalatnya, mereka senantiasa mengharapkan anugerah kemampuan untuk tetap mengikuti mereka:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7).”
II.4 Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Di antara tipe-tipe peneladanan, yang terpenting ialah :
a. Pengaruh Langsung yang Tak Disengaja
Keberhasilan tipe peneladanan ini banyak bergantung pada kualitas kesungguhan realisasi karakteristik yang diteladankan, seperti: keilmuan, kepemimpinan, keikhlasan, atau lain sebagainya. Dalam kondisi ini pengaruh teladan berjalan secara langsung tanpa disengaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang diharapkan menjadi teladan hendaknya memelihara tingkah lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggung jawab di hadapan Allah dalam segala hal yang diikuti oleh orang lain. Khususnya pada pengagumnya. Kualitas kewaspadaan dan keikhlasannya bertambah, seiring sejalan dengan derajat kekaguman serta tingkat peneladanan orang lain terhadapnya.
b. Pengaruh yang Sengaja
Kadangkala peneladanan diupayakan secara sengaja. Maka kita dapatkan umpamanya guru memberikan contoh membaca yang baik agar para pelajar menirunya, imam membaikkan shalatnya untuk mengajarkan shalat yang sempurna kepada orang-orang, dan komandan maju ke depan barisan di dalam jihad untuk menanamkan keberanian, pengorbanan, dan kegigihan di dalam jiwa pasukannya.
Para sahabat telah mempelajari berbagai urusan agama mereka dengan jalan mengikuti teladan yang sengaja diberikan Rasulullah SAW. Umpamanya, beliau bersabda kepada mereka :
“Shalatlah kalain sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari).
Juga dalam melaksanakan ibadah haji beliau menyuruh mereka supaya mencontohnya :
“Ambillah dariku cara-cara mengerjakan ibadah haji kalian.” (Al Hadits).
Sebagai contoh bahwa teladan beliau sangat diperhatikan, seorang sahabat bertanya kepada para tabi’in: “Apakah aku tidak shalat seperti shalat Rasulullah SAW sebagai contoh bagi kalian?”
Rasulullah SAW pernah shalat di atas mimbar. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa mimbar itu mempunyai tiga tingkat. Beliau berdiri di atas mimbar itu lalu bertakbir dan orang-orang bertakbir pula di belakangnya, sedangkan beliau berada di atas mimbar; lalu ruku’ dan beliau pun tetap berada di atas mimbar itu. Kemudian bangkit lalu turun mundur ke belakang hingga beliau sujud pada mimbar itu; kemudian beliau kembali, di dalam rakaat itu beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, hingga selesai shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada orang-orang, seraya bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti aku dan agar kalian mempelajari shalatku ini.” (HQ Bukhari Muslim).
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa kadang-kadang Rasulullah SAW memperdengarkan ayat di dalam shalat Dhuhur, padahal ia termasuk shalat-shalat yang bacaannya tidak dibaca terang.
Demikianlah Rasulullah SAW peletak pendidikan Islam, mengajarkan kepada kita agar pendidik mengajar dengan perbuatan-perbuatannya; menarik perhatian meeka supaya mencontohnya, karena dia sendiri mencontoh Rasulullah SAW dan hendaknya memperbaiki shalat, ibadah, dan tingkah lakunya secara sengaja, sehingga ia memperoleh pahala “orang yang membuat tradisi yang baik” hingga hari kiamat.
BAB III
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
a. Pentingnya Figur Keteladanan
Nabi Muhammad SAW merupakan suri teladan di dalam kehidupan. Beliau adalah figur suri teladan kebapakan dan dalam memperlakukan anak-anak kecil, dalam pergaulan dengan para sahabat serta tetangga dengan baik. Beliau selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslimin. Lebih lanjut beliau adalah orang yang paling teguh berpegang kepada janjinya, paling dipercaya dalam menjaga titipan, paling wara’ dan paling berhati-hati dalam makan harta sedekah, ataupun dalam menjaga harta kaum Muslimin yang dititipkan Allah SWT kepada beliau.
b. Nilai Edukatif yang Teraplikasikan
Apabila dikaji secara ilmiah dapatlah disingkap bahwa keteladanan bertopang pada azas pendidikan yang kuat serta memiliki implikasi paedagogis :
1. Pola pendidikan Muslim tercermin dari kehidupan da’i kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, ia perlu menjadi teladan bagi para pelajarnya, selalu siap dan rela berkorban, serta menghindari perbuatan yang tidak berarti.
2. Islam telah menjadikan pribadi Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang terus-menerus bagi seluruh pendidik, suri teladan yang selalu baru bagi generasi demi generasi, dan selalu aktual dalam kehidupan manusia; setiap kali kita membaca riwayat kehidupannya bertambah pula kecintaan kita kepadanya dan tergugah pula keinginan untuk meneladaninya.
c. Landasan Psikologis Keteladanan
Kebutuhan manusia akan teladan lahir dari gharizah (naluri) yang bersemayam dalam jiwa manusia, yaitu taqlid (peniruan). Ada tiga anasir taqlid :
1. Keinginan untuk meniru dan mencontoh.
2. Kesiapan untuk meniru
3. Tujuan
d. Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Pola pengaruh keteladanan berpindah kepada peniru melalui beberapa bentuk, dan bentuk yang paling penting adalah :
1. Pemberian pengaruh secara spontan
2. Pemberian pengaruh secara sengaja.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Quran Digital Versi 2.0.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta : Gema Insani Press.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro.
Mazhairi, Husain. 2001. Pintar Mendidik Anak : Panduan Lengkap Bagi Orang-tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam. Jakarta : Lentera.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya : Al-Ikhlas.
Ramayulis. 1990. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
Langganan:
Postingan (Atom)