Di hatiku, namamu akan selalu mengenangkan makna perjuangan. Ya! Perjuangan. Skripsi, mari kita flashback tentang hubungan satu tahun kita itu! ^o^
***
Bulan puasa tahun 2011 itu aku pontang-panting menyelesaikan proposal. Revisi, revisi dan revisi mewarnai hari-hari awal puasa itu. Padahal masih proposal, tapi revisinya nggak ketulungan. Siang hari yang terik setelah sholat dhuhur itu aku jalan kaki dari kos yang jaraknya hampir setengah kilometer untuk mencapai perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, aku harus naik lagi ke lantai empat, dan itu jalan kaki menapaki tangga satu per satu. Sesampainya di lantai empat, aku berhenti untuk mengatur napas yang ngos-ngosan.
Proses pencarian buku masih panjang. Bagaimana tidak? Mencari buku di katalog online dan di sana tertulis available, namun ketika dicari di raknya buku itu tidak ada, entah ngumpet di mana. Mungkin malas bertemu orang yang mukanya lecek gara-gara lapar, capek, keringetan, dan bingung blo-on jadi satu. You know what? Itu terjadi tidak hanya pada satu buku. Beberapa buku yang aku cari ngumpet entah ke mana padahal di katalog online tertulis available. Rasanya ingin kubanting komputer-komputer itu.
Aku lemas. Selonjoran di lantai di antara rak-rak buku perpustakaan sambil melamun. Sudah tidak terpikirkan olehku tentang kursi dan meja yang melambai-lambai minta perhatian. Mahasiswa lain yang melihat mungkin membatin,”Kasian banget ni orang, nggak punya duit buat buka kali ya?”
***
Setelah ujian proposal, aku ditransfer dari dosen pembimbing lama ke dosen pembimbing baruku karena masalah bahasa. Akhirnya Dr. H. Nur Ali, M.Pd yang menjadi mak comblang antara aku dan si skripsi.
Beda dosen, berubahlah segalanya. Setelah proposal itu mantap di mata dosen pembimbing lamaku, di mata Pak Nur Ali semua itu sirna. Aku harus membuat lagi proposal itu dari awal sesuai dengan petunjuk beliau. Rasanya ingin kumakan saja tumpukan kertas revisi proposan yang bejibun itu.
***
Kuberi tahu tentang dosen pembimbingku itu. Beliau merupakan Pembantu Dekan bidang akademik. Otomatis tingkat kesibukannya sangat padat. Di samping itu bukan hanya aku mahasiswa yang dibimbingnya. Alhasil aku harus ekstra sabar menunggu untuk berkonsultasi dengan beliau.
Pernah saat aku PKLI di Blitar, aku minta ijin pada ketuaku untuk bimbingan skripsi ke Malang. Pagi hari setelah upacara bendera aku buru-buru berangkat ke Malang naik bis demi mengejar pukul 11.00, sebab jam 11.00 adalah perjanjian konsultasiku dengan beliau. Turun dari bis aku naik angkot dengan menahan gerah. Turun dari angkot, aku berjalan setengah berlari menuju kantor beliau sebab beberapa menit lagi pukul 11.00. akhirnya aku sampai di kantor beliau beberapa menit sebelum pukul 11.00. kuperkirakan perjalanan dari Blitar sampai kantor Pak Nur Ali adalah sekitar 3 jam.
Kursi yang biasa diduduki beliau kosong. Sekertarisnya mengatakan,”Bapak baru pulang tugas dari Bali, mungkin tidak masuk.” Mendengarnya rasanya ingin menangis.
“Tapi saya sudah ada janji mbak,” kataku.
“Ya sudah coba ditunggu saja mbak,” jawabnya lagi.
Akhirnya aku menunggu di lobi dengan setia seperti orang linglung. Menghitung orang lewat, membuka-buka skripsi, bermain handphone, dan aku berusaha sekuat tenaga agar tidak tidur. Aku tak meninggalkan tempat dudukku sama sekali sebab takut “ketlisipan” dengan Pak Nur Ali. Beliau seperti orang yang muncul dan hilang secara tiba-tiba, sulit sekali ditemui.
Rasanya pantatku panas sekali, ternyata sudah hampir jam satu siang. Pantas saja panas. Aku kecewa, ingin menangis dan memutuskan untuk kembali ke Blitar saja. Saat berjalan menuju pintu, kulihat perawakan mirip Mario Teguh itu muncul dari balik pintu. Berbunga-bunga hatiku, lega sekali tidak sia-sia pantatku berkorban sampai panas.
Kenapa Mario Teguh? Menurutku ada yang mirip dari mereka berdua. Sama-sama botak, sama-sama berkacamata dan bicaranya sama-sama bersemangat. Tapi jika beliau memakai peci dan tidak berkacamata, miripnya jadi luntur, hehehe.
Di ruangan beliau, beliau melihat-lihat skripsiku, bertanya jawab denganku, mencorat-coret di sana-sini, memberi wejangan untuk banyak membaca buku terutama buku penelitian, menyuruhku mengumpulkan revisi ke mejanya dengan segera, tanda tangan, selesai. Ya! Konsultasi itu singkat sekali. Kuperkirakan tidak sampai lima belas menit.
OMG! Kuhabiskan waktu enam jam pergi-pulang Blitar-Malang serta pantat meringis selama hampir dua jam hanya untuk konsultasi yang tidak sampai lima belas menit. Rasanya dunia ini terkadang tak adil.
***
Aku tidak sendirian. Banyak teman senasib sepenanggunganku mengeluhkan hal yang sama.
“Duh, bener-bener ya, salah dikit aja revisinya bejibun.”
“Yuk kita culik Pak Nur Ali buat mbimbing kita, ntar kalo skripsinya udah selesai kita bebaskan.”
“Kemaren katanya gini, udah dilakuin, hari ini suruh gitu, maunya gimana sih?”
“Dosen laen nggak gini-gini amat, nih dosen bener-bener yah.”
Dan lain sebagainya,
Aku memahami apa yang mereka rasakan sebab aku juga mengalaminya. Pak Nur Ali adalah tipe dosen perfeksionis. Semua harus bagus. Tidak boleh asal-asalan. Namun keinginan beliau kurang sejalan dengan waktu yang beliau punya untuk kami. Mungkin itu juga yang menyebabkan beliau terkadang membingungkan untuk kami. Hari ini disuruh A, besok B. Tapi di balik itu semua, yang aku lihat dari skripsi kakak-kakak tingkat yang dibimbing beliau, hampir semua nilainya A. Skripsinya mudah dibaca serta runtut antar tiap BAB.
Beliau selalu menekankan agar BAB I (Pendahuluan), II (Kajian Pustaka) dan III (Metode Penelitian) disempurnakan terlebih dahulu. Jangan harap bisa melakukan penelitian jika ketiga BAB tersebut belum matang. Jadi, mengerjakan 3 BAB itulah yang menyita banyak waktu dan pikiran.
Revisi, revisi dan revisi terus mewarnai hariku dalam mengerjakan 3 BAB itu. Aku mengeluh tentu saja. Banyak temanku yang sudah mengerjakan BAB IV (Hasil Penelitian) atau BAB V (Pembahasan) bahkan ada yang tinggal BAB VI (Kesimpulan). Sedangkan aku masih berkutat dengan BAB I, II, III. Sempat terpikirkan olehku bahwa mungkin aku tidak lulus semester ini. Stress berkepanjangan membuat lupa daratan dengan makanan sehingga menyebabkan penambahan berat badan serta pembulatan bentuk muka secara signifikan.
Aku berusaha untuk selalu melakukan apa yang diperintahkan kepadaku. Baca buku ini, aku baca bukunya. Revisi bagian ini, aku ketik kembali. Hilangkan bagian itu, aku menghapusnya. Tambah referansi, aku cari buku lagi.
Ternyata benar. Ketika BAB I, II, III itu sudah tuntas, BAB IV, V dan VI mengalir seperti air. Aku mengerjakan BAB IV, V dan VI dengan mengacu pada BAB I, II dan III. Akhirnya aku mengerti mengapa Pak Nur Ali selalu menjejali otakku untuk menyempurnakan BAB I, II dan III. Aku mulai tersenyum optimis, ”Aku bisa lulus dan wisuda tahun ini!”
***
Bulan puasa tahun 2012 itu kisah kami (baca: aku dan skripsi) berakhir mengharukan. Aku disidang di gedung Micro Teaching (lupa nama ruangnya =D). Diuji oleh 3 dosen mumpuni membuat tanganku lumayan dingin akibat grogi. Beruntung Pak Nur Ali selalu memberi bantuan. Rasanya mulutku ingin mengucapkan terimakasih terus menerus tanpa henti pada Pak Nur Ali. Untung saja bisa kurem. Kalau tidak mungkin aku akan seperti burung beo mengoceh.
Alhamdulillah skripsiku mendapat nilai A dan lulus dengan predikat cumlaude. Yudisium dan wisuda melambai-lambai depan mata. Terimakasih ya Allah, Engkau memberiku kesempatan berdiri sebagai salah satu wisudawan berprestasi. Skripsi, jadian satu tahun kita itu akan selalu mendapat tempat di hatiku. =D
***
Dokumentasi
Hasil Jadian Satu Tahun =)
Setelah sidang.
*Stress berkepanjangan membuat lupa daratan dengan makanan sehingga menyebabkan penambahan berat badan serta pembulatan bentuk muka secara signifikan*
Bersama orangtua, calon besan mereka serta anaknya =D
0 komentar:
Posting Komentar