Anak kecil ibarat kertas putih. Lingkungan turut berperan penting menulis cerita di atasnya.
Mengisi kekosongan waktu dan niat mencari pengalaman
membuatku bertemu dengan Kristyo dan menjadi guru privatnya saat aku masih
kuliah. Aku membimbing anak ini dan Jenna teman sekelasnya saat mereka duduk di kelas 5.
Kristyo anak yang penuh dengan kasih sayang orang tua. Segala
macam kebutuhan tidak pernah kurang, bahkan bisa dibilang lebih sehingga
membuat badannya gendut, begitu pula adik perempuannya, Keezi. Keduanya sama-sama
berpipi tembem. Keduanya sama-sama hobi makan. Keduanya sama-sama hobi membuat
ribut di rumah. Bisa dibayangkan bila tidak ada mereka di rumah, pasti rumah
terasa sangat sepi.
Khusus untuk mengajari Kristyo, dibutuhkan ekstra kesabaran.
Sangat berbeda bila mengajari Jenna. WHY? Cekidot di bawah ini:
Jenna = Belajar tidak perlu diperintah, otaknya dengan
refleks memerintahkan anggota tubuhnya untuk selalu belajar tepat waktu.
Kristyo = mamanya harus berteriak-teriak dahulu baru dia mau membuka buku.
Jenna = sewaktu les, buku PRnya sudah dikerjakan, hanya
sebagian kecil yang masih kosong yang menurutnya susah dikerjakan. Kristyo =
seringkali buku Prnya masih kosong mlompong dari jawaban.
Jenna = saat les selalu memperhatikan penjelasan guru lesnya
(baca: aku). Kristyo = seringkali perhatiannya teralihkan dan bengong melayang
di awang-awang.
Kami belajar di rumah
Kristyo. Maka mama Kristyo yang setiap hari melihat secara langsung proses les
itu sering uring-uringan dan mengomel.
“Kris, jangan bengong!”
“Kris, perhatikan Kak Ila!”
“Kris, jangan mainan!”
Sebenarnya aku merasa kasihan dengan Kristyo yang hampir
setiap hari diomeli.
Beberapa bulan bersama anak ini membuatku sedikit memahami
karakter anak ini. Kristyo tidak seperti Jenna yang bisa berkonsentrasi dalam
waktu lama, perhatiannya mudah sekali teralihkan. Kristyo juga bukan tipe anak
yang bisa belajar dengan anteng (diam dan tenang). Jadi, aku selalu
mengizinkannya belajar sambil ramai dan bermain. Dan hasilnya memang lebih baik
daripada dia belajar sambil duduk tenang, yang ada dia malah melamun melihat
buku dengan ratusan deretan huruf.
Sayangnya, mamanya belum memahami tipe belajar Kristyo. Kalau
dia ramai mamanya otomatis mengomel, padahal dia sedang dalam proses belajar. Maka
aku mencoba memberi pengertian bahwa dia sedang belajar. Mamanya manggut-manggut
terlihat setuju. Tapi besok dan besoknya lagi mamanya kembali mengomel. Hahaha
kasihan sekali Kristyo.
Mama Kristyo sangat sayang pada anak-anaknya. Beliau tipe
ibu rumah tangga sejati. Semua dikerjakannya sendiri. Rumah bersih, masakan
enak, hampir seluruh waktunya dikerahkan untuk mengurusi kedua anaknya yang
berisik itu. Kalau aku sudah berada di rumahnya, maka telinga sudah harus
kupersiapkan untuk mendengar curhatan mama Kristyo. Tentang apa saja. Dari mulai
nilai Kristyo, rempongnya kalau dua gendutnya sudah bertengkar, sampai harga sayur
tidak luput. Mama dan ayahnya selalu memberikan semua yang diinginkan Kristyo,
mungkin itu sebabnya Kristyo jadi kurang mengerti arti kerja keras dan belajar
dengan sungguh-sungguh.
Di luar semua itu, dia anak yang menyenangkan dan sayang
sekali pada keluarganya. Kristyo dan Keezi terlihat akur dan hampir selalu
Kristyo yang mengalah jika Keezi sudah merengek. Beberapa bulan aku mengajari
Kristyo, alhamdulillah nilainya meningkat walau tidak sesignifikan meningkatnya
nilai Jenna.
Akhirnya aku pamit pada mama Kristyo untuk berhenti les
sebab harus mengikuti PKLI. Namun kami masih tetap berkomunikasi walaupun
jarang. Suatu saat mamanya telepon dan bercerita panjang lebar. Kristyo sudah
mendapat guru les baru. Ribut dengan mama Jenna. Jenna keluar dari les. Nilai
Kristyo turun. Kristyo kangen denganku.
“Ajari les aku lagi ya Kak Ila, Kristyo kangen sama Kak Ila.”
“Ajari les aku lagi ya Kak Ila, Kristyo kangen sama Kak Ila.”
Aku tertawa dan bercanda dengannya di telepon.
Setelah PKLI selesai, aku berkunjung ke rumah Kristyo dan
mendapati guru lesnya berpamitan berhenti les karena sakit. Akhirnya akulah
yang mengajari Kristyo les lagi.
Bulan Juni, dia harus pindah ke Jakarta karena menyusul
ayahnya yang sudah pindah kerja di sana. Jadi sebisa mungkin aku berusaha
menikmati 4 bulan terakhir itu bersama Kristyo, keluarga, dan teman-temannya. Ada
satu lagi teman sekelas Kristyo yang ikut les denganku, Firna. Dan dia tidak
jauh beda dari Kristyo. Butuh tenaga ekstra untuk menjejalkan ilmu pada kepala
mereka.
Di luar itu semua, aku sangat sayang pada Firna. Dia baru
saja ditinggal ayahnya menghadap Sang Ilahi. Ibunya bekerja keras pergi pagi
pulang malam untuk menghidupi dia dan adiknya, sehingga pekerjaan rumah sudah
biasa dikerjakan Firna setiap harinya termasuk mengurusi adiknya yang masih
kecil. Sebisa mungkin aku tak sampai memarahinya ketika dia ramai dan sulit
diatur, karena aku paham itu caranya untuk mendapat perhatian yang kurang
didapatnya dari rumah. Dia bahkan sangat sangat sangat manja padaku, dia suka
sekali memelukku.
“Kak Ila mirip sama kakakku yang jauh di sana.” Katanya sambil memelukku.
“Kak Ila mirip sama kakakku yang jauh di sana.” Katanya sambil memelukku.
Yah, selama 4 bulan itu masa-masa yang lumayan sulit. Why? Saat
itu aku sedang mengerjakan skripsi. Buka hal yang mudah hampir 2 sampai 3 kali
dalam satu minggu bolak-balik Blitar-Malang (penelitian skripsi di Blitar). Di malang
juga harus mengerjakan data disambi membimbing 2 anak yang hiperaktif (baca:
Kristyo dan Firna). Mungkin kalau ada Jenna aku bisa ditolong untuk mengajari
mereka, batinku saat itu, hahaha. Sebenarnya aku bisa saja berhenti memberi
les, namun aku merasa bertanggung jawab mengajari Kristyo. Dia sudah kuanggap
seperti adikku sendiri, jadi bila ada nilainya yang jelek, aku juga sedih.
Beberapa bulan bersama keluarga Kristyo, aku jadi mengenal
banyak orang. Kerabatnya, tetangganya, tukang bakso langganannya, dan
teman-temannya. Bahkan saat kerabatnya mau pergi ke Kalimantan, dia berpamitan
denganku dan berharap suatu saat bisa bertemu denganku lagi.