CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 04 Juni 2013

Birthday Party on the Tree

Begitulah aku beri judul karyaku yang satu ini. Hadiah buat my dear saat ulang tahunnya yang ke 23 bulan Mei lalu. Merayakan ulang tahun di atas pohon, hohoho, imajinasi yang aneh sih, hehe...

Sempat bingung mau ngasi kado apa. Inginnya yang berkesan untuk kisah berdua gitu, uhuk-uhuk...
Akhirnya setelah semedi ~lebay~, daku menemukan ide membuat jahitan tangan yang penuh dengan cinta, alah...

Prosesnya lumayan menguras pikiran dan tenaga, maklum baru pertama kali membuat. Dan hasil begadang beberapa hari itu membuahkan senyum sumringah dari my dear. Duh senengnya, jadi lupa sama si capek yang nangkring di bahu selama proses membuatnya.

Cuplikan begadang beberapa hari itu terangkum dalam gambar di bawah ini:




Mulai bikin sketsanya




Diwarnai...




Buat pola dari karton bekas kemasan susu




Kain-kain flanel dipotong sesuai pola




Saatnya jahit-menjahit




Proses jahit ucapan ini yang lumayan lama, sebab hurufnya dijahit satu per satu




Hasil akhir sebelum dibingkai




Setelah dibingkai




Sumringahnya my dear bikin hati seneng, hehehe...

Ngelihat hasil jadinya pengen ketawa soalnya gak mirip sama sketsanya. Tapi lumayan lah buat pemula, hehe...

Sebenernya sketsa awalnya nggak pake kumis, soalnya dilihat-lihat mukanya kaya cewek, haghaghag, akhirnya pakai kumis. Yang cowoknya nggak bawa apa-apa, jadi ditambahi bawa kado. Warna bajunya pun juga akhirnya ganti, habis mix and match warna kain, akhirnya terpilih kombinasi ungu tua dan muda.

Akhirnya, inilah yang jadi harapanku setelah melihat hasil jadi jahitanku:
Wish you always smile everyday, my dear

Sabtu, 04 Mei 2013

Rujak Buah 2012 (Jadian Satu Tahun)

Di hatiku, namamu akan selalu mengenangkan makna perjuangan. Ya! Perjuangan. Skripsi, mari kita flashback tentang hubungan satu tahun kita itu! ^o^
***

Bulan puasa tahun 2011 itu aku pontang-panting menyelesaikan proposal. Revisi, revisi dan revisi mewarnai hari-hari awal puasa itu. Padahal masih proposal, tapi revisinya nggak ketulungan. Siang hari yang terik setelah sholat dhuhur itu aku jalan kaki dari kos yang jaraknya hampir setengah kilometer untuk mencapai perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, aku harus naik lagi ke lantai empat, dan itu jalan kaki menapaki tangga satu per satu. Sesampainya di lantai empat, aku berhenti untuk mengatur napas yang ngos-ngosan.

Proses pencarian buku masih panjang. Bagaimana tidak? Mencari buku di katalog online dan di sana tertulis available, namun ketika dicari di raknya buku itu tidak ada, entah ngumpet di mana. Mungkin malas bertemu orang yang mukanya lecek gara-gara lapar, capek, keringetan, dan bingung blo-on jadi satu. You know what? Itu terjadi tidak hanya pada satu buku. Beberapa buku yang aku cari ngumpet entah ke mana padahal di katalog online tertulis available. Rasanya ingin kubanting komputer-komputer itu.

Aku lemas. Selonjoran di lantai di antara rak-rak buku perpustakaan sambil melamun. Sudah tidak terpikirkan olehku tentang kursi dan meja yang melambai-lambai minta perhatian. Mahasiswa lain yang melihat mungkin membatin,”Kasian banget ni orang, nggak punya duit buat buka kali ya?” 
***

Setelah ujian proposal, aku ditransfer dari dosen pembimbing lama ke dosen pembimbing baruku karena masalah bahasa. Akhirnya Dr. H. Nur Ali, M.Pd yang menjadi mak comblang antara aku dan si skripsi.

Beda dosen, berubahlah segalanya. Setelah proposal itu mantap di mata dosen pembimbing lamaku, di mata Pak Nur Ali semua itu sirna. Aku harus membuat lagi proposal itu dari awal sesuai dengan petunjuk beliau. Rasanya ingin kumakan saja tumpukan kertas revisi proposan yang bejibun itu. 
***

Kuberi tahu tentang dosen pembimbingku itu. Beliau merupakan Pembantu Dekan bidang akademik. Otomatis tingkat kesibukannya sangat padat. Di samping itu bukan hanya aku mahasiswa yang dibimbingnya. Alhasil aku harus ekstra sabar menunggu untuk berkonsultasi dengan beliau. 

Pernah saat aku PKLI di Blitar, aku minta ijin pada ketuaku untuk bimbingan skripsi ke Malang. Pagi hari setelah upacara bendera aku buru-buru berangkat ke Malang naik bis demi mengejar pukul 11.00, sebab jam 11.00 adalah perjanjian konsultasiku dengan beliau. Turun dari bis aku naik angkot dengan menahan gerah. Turun dari angkot, aku berjalan setengah berlari menuju kantor beliau sebab beberapa menit lagi pukul 11.00. akhirnya aku sampai di kantor beliau beberapa menit sebelum pukul 11.00. kuperkirakan perjalanan dari Blitar sampai kantor Pak Nur Ali adalah sekitar 3 jam.

Kursi yang biasa diduduki beliau kosong. Sekertarisnya mengatakan,”Bapak baru pulang tugas dari Bali, mungkin tidak masuk.” Mendengarnya rasanya ingin menangis.
“Tapi saya sudah ada janji mbak,” kataku.
“Ya sudah coba ditunggu saja mbak,” jawabnya lagi.

Akhirnya aku menunggu di lobi dengan setia seperti orang linglung. Menghitung orang lewat, membuka-buka skripsi, bermain handphone, dan aku berusaha sekuat tenaga agar tidak tidur. Aku tak meninggalkan tempat dudukku sama sekali sebab takut “ketlisipan” dengan Pak Nur Ali. Beliau seperti orang yang muncul dan hilang secara tiba-tiba, sulit sekali ditemui.

Rasanya pantatku panas sekali, ternyata sudah hampir jam satu siang. Pantas saja panas. Aku kecewa, ingin menangis dan memutuskan untuk kembali ke Blitar saja. Saat berjalan menuju pintu, kulihat perawakan mirip Mario Teguh itu muncul dari balik pintu. Berbunga-bunga hatiku, lega sekali tidak sia-sia pantatku berkorban sampai panas.

Kenapa Mario Teguh? Menurutku ada yang mirip dari mereka berdua. Sama-sama botak, sama-sama berkacamata dan bicaranya sama-sama bersemangat. Tapi jika beliau memakai peci dan tidak berkacamata, miripnya jadi luntur, hehehe.

Di ruangan beliau, beliau melihat-lihat skripsiku, bertanya jawab denganku, mencorat-coret di sana-sini, memberi wejangan untuk banyak membaca buku terutama buku penelitian, menyuruhku mengumpulkan revisi ke mejanya dengan segera, tanda tangan, selesai. Ya! Konsultasi itu singkat sekali. Kuperkirakan tidak sampai lima belas menit.

OMG! Kuhabiskan waktu enam jam pergi-pulang Blitar-Malang serta pantat meringis selama hampir dua jam hanya untuk konsultasi yang tidak sampai lima belas menit. Rasanya dunia ini terkadang tak adil.
***

Aku tidak sendirian. Banyak teman senasib sepenanggunganku mengeluhkan hal yang sama.
“Duh, bener-bener ya, salah dikit aja revisinya bejibun.”
“Yuk kita culik Pak Nur Ali buat mbimbing kita, ntar kalo skripsinya udah selesai kita bebaskan.”
“Kemaren katanya gini, udah dilakuin, hari ini suruh gitu, maunya gimana sih?”
“Dosen laen nggak gini-gini amat, nih dosen bener-bener yah.”
Dan lain sebagainya,

Aku memahami apa yang mereka rasakan sebab aku juga mengalaminya. Pak Nur Ali adalah tipe dosen perfeksionis. Semua harus bagus. Tidak boleh asal-asalan. Namun keinginan beliau kurang sejalan dengan waktu yang beliau punya untuk kami. Mungkin itu juga yang menyebabkan beliau terkadang membingungkan untuk kami. Hari ini disuruh A, besok B. Tapi di balik itu semua, yang aku lihat dari skripsi kakak-kakak tingkat yang dibimbing beliau, hampir semua nilainya A. Skripsinya mudah dibaca serta runtut antar tiap BAB. 

Beliau selalu menekankan agar BAB I (Pendahuluan), II (Kajian Pustaka) dan III (Metode Penelitian) disempurnakan terlebih dahulu. Jangan harap bisa melakukan penelitian jika ketiga BAB tersebut belum matang. Jadi, mengerjakan 3 BAB itulah yang menyita banyak waktu dan pikiran.

Revisi, revisi dan revisi terus mewarnai hariku dalam mengerjakan 3 BAB itu. Aku mengeluh tentu saja. Banyak temanku yang sudah mengerjakan BAB IV (Hasil Penelitian) atau BAB V (Pembahasan) bahkan ada yang tinggal BAB VI (Kesimpulan). Sedangkan aku masih berkutat dengan BAB I, II, III. Sempat terpikirkan olehku bahwa mungkin aku tidak lulus semester ini. Stress berkepanjangan membuat lupa daratan dengan makanan sehingga menyebabkan penambahan berat badan serta pembulatan bentuk muka secara signifikan.

Aku berusaha untuk selalu melakukan apa yang diperintahkan kepadaku. Baca buku ini, aku baca bukunya. Revisi bagian ini, aku ketik kembali. Hilangkan bagian itu, aku menghapusnya. Tambah referansi, aku cari buku lagi.

Ternyata benar. Ketika BAB I, II, III itu sudah tuntas, BAB IV, V dan VI mengalir seperti air. Aku mengerjakan BAB IV, V dan VI dengan mengacu pada BAB I, II dan III. Akhirnya aku mengerti mengapa Pak Nur Ali selalu menjejali otakku untuk menyempurnakan BAB I, II dan III. Aku mulai tersenyum optimis, ”Aku bisa lulus dan wisuda tahun ini!”
***

Bulan puasa tahun 2012 itu kisah kami (baca: aku dan skripsi) berakhir mengharukan. Aku disidang di gedung Micro Teaching (lupa nama ruangnya =D). Diuji oleh 3 dosen mumpuni membuat tanganku lumayan dingin akibat grogi. Beruntung Pak Nur Ali selalu memberi bantuan. Rasanya mulutku ingin mengucapkan terimakasih terus menerus tanpa henti pada Pak Nur Ali. Untung saja bisa kurem. Kalau tidak mungkin aku akan seperti burung beo mengoceh. 

Alhamdulillah skripsiku mendapat nilai A dan lulus dengan predikat cumlaude. Yudisium dan wisuda melambai-lambai depan mata. Terimakasih ya Allah, Engkau memberiku kesempatan berdiri sebagai salah satu wisudawan berprestasi. Skripsi, jadian satu tahun kita itu akan selalu mendapat tempat di hatiku. =D
***
Dokumentasi



Hasil Jadian Satu Tahun =)



Setelah sidang. 
*Stress berkepanjangan membuat lupa daratan dengan makanan sehingga menyebabkan penambahan berat badan serta pembulatan bentuk muka secara signifikan*



Bersama orangtua, calon besan mereka serta anaknya =D

Senin, 29 April 2013

Rujak Buah 2012 (Kristyo si Gendut Murid Lesku)


Anak kecil ibarat kertas putih. Lingkungan turut berperan penting menulis cerita di atasnya.


Mengisi kekosongan waktu dan niat mencari pengalaman membuatku bertemu dengan Kristyo dan menjadi guru privatnya saat aku masih kuliah. Aku membimbing anak ini dan Jenna teman sekelasnya  saat mereka duduk di kelas 5.

Kristyo anak yang penuh dengan kasih sayang orang tua. Segala macam kebutuhan tidak pernah kurang, bahkan bisa dibilang lebih sehingga membuat badannya gendut, begitu pula adik perempuannya, Keezi. Keduanya sama-sama berpipi tembem. Keduanya sama-sama hobi makan. Keduanya sama-sama hobi membuat ribut di rumah. Bisa dibayangkan bila tidak ada mereka di rumah, pasti rumah terasa sangat sepi.

Khusus untuk mengajari Kristyo, dibutuhkan ekstra kesabaran. Sangat berbeda bila mengajari Jenna. WHY? Cekidot di bawah ini:

Jenna = Belajar tidak perlu diperintah, otaknya dengan refleks memerintahkan anggota tubuhnya untuk selalu belajar tepat waktu. Kristyo = mamanya harus berteriak-teriak dahulu baru dia mau membuka buku.
Jenna = sewaktu les, buku PRnya sudah dikerjakan, hanya sebagian kecil yang masih kosong yang menurutnya susah dikerjakan. Kristyo = seringkali buku Prnya masih kosong mlompong dari jawaban.
Jenna = saat les selalu memperhatikan penjelasan guru lesnya (baca: aku). Kristyo = seringkali perhatiannya teralihkan dan bengong melayang di awang-awang.

 Kami belajar di rumah Kristyo. Maka mama Kristyo yang setiap hari melihat secara langsung proses les itu sering uring-uringan dan mengomel.
“Kris, jangan bengong!”
“Kris, perhatikan Kak Ila!”
“Kris, jangan mainan!”

Sebenarnya aku merasa kasihan dengan Kristyo yang hampir setiap hari diomeli.

Beberapa bulan bersama anak ini membuatku sedikit memahami karakter anak ini. Kristyo tidak seperti Jenna yang bisa berkonsentrasi dalam waktu lama, perhatiannya mudah sekali teralihkan. Kristyo juga bukan tipe anak yang bisa belajar dengan anteng (diam dan tenang). Jadi, aku selalu mengizinkannya belajar sambil ramai dan bermain. Dan hasilnya memang lebih baik daripada dia belajar sambil duduk tenang, yang ada dia malah melamun melihat buku dengan ratusan deretan huruf.

Sayangnya, mamanya belum memahami tipe belajar Kristyo. Kalau dia ramai mamanya otomatis mengomel, padahal dia sedang dalam proses belajar. Maka aku mencoba memberi pengertian bahwa dia sedang belajar. Mamanya manggut-manggut terlihat setuju. Tapi besok dan besoknya lagi mamanya kembali mengomel. Hahaha kasihan sekali Kristyo.

Mama Kristyo sangat sayang pada anak-anaknya. Beliau tipe ibu rumah tangga sejati. Semua dikerjakannya sendiri. Rumah bersih, masakan enak, hampir seluruh waktunya dikerahkan untuk mengurusi kedua anaknya yang berisik itu. Kalau aku sudah berada di rumahnya, maka telinga sudah harus kupersiapkan untuk mendengar curhatan mama Kristyo. Tentang apa saja. Dari mulai nilai Kristyo, rempongnya kalau dua gendutnya sudah bertengkar, sampai harga sayur tidak luput. Mama dan ayahnya selalu memberikan semua yang diinginkan Kristyo, mungkin itu sebabnya Kristyo jadi kurang mengerti arti kerja keras dan belajar dengan sungguh-sungguh.

Di luar semua itu, dia anak yang menyenangkan dan sayang sekali pada keluarganya. Kristyo dan Keezi terlihat akur dan hampir selalu Kristyo yang mengalah jika Keezi sudah merengek. Beberapa bulan aku mengajari Kristyo, alhamdulillah nilainya meningkat walau tidak sesignifikan meningkatnya nilai Jenna.

Akhirnya aku pamit pada mama Kristyo untuk berhenti les sebab harus mengikuti PKLI. Namun kami masih tetap berkomunikasi walaupun jarang. Suatu saat mamanya telepon dan bercerita panjang lebar. Kristyo sudah mendapat guru les baru. Ribut dengan mama Jenna. Jenna keluar dari les. Nilai Kristyo turun. Kristyo kangen denganku.
“Ajari les aku lagi ya Kak Ila, Kristyo kangen sama Kak Ila.”
Aku tertawa dan bercanda dengannya di telepon.

Setelah PKLI selesai, aku berkunjung ke rumah Kristyo dan mendapati guru lesnya berpamitan berhenti les karena sakit. Akhirnya akulah yang mengajari Kristyo les lagi.

Bulan Juni, dia harus pindah ke Jakarta karena menyusul ayahnya yang sudah pindah kerja di sana. Jadi sebisa mungkin aku berusaha menikmati 4 bulan terakhir itu bersama Kristyo, keluarga, dan teman-temannya. Ada satu lagi teman sekelas Kristyo yang ikut les denganku, Firna. Dan dia tidak jauh beda dari Kristyo. Butuh tenaga ekstra untuk menjejalkan ilmu pada kepala mereka.

Di luar itu semua, aku sangat sayang pada Firna. Dia baru saja ditinggal ayahnya menghadap Sang Ilahi. Ibunya bekerja keras pergi pagi pulang malam untuk menghidupi dia dan adiknya, sehingga pekerjaan rumah sudah biasa dikerjakan Firna setiap harinya termasuk mengurusi adiknya yang masih kecil. Sebisa mungkin aku tak sampai memarahinya ketika dia ramai dan sulit diatur, karena aku paham itu caranya untuk mendapat perhatian yang kurang didapatnya dari rumah. Dia bahkan sangat sangat sangat manja padaku, dia suka sekali memelukku.
“Kak Ila mirip sama kakakku yang jauh di sana.” Katanya sambil memelukku.

Yah, selama 4 bulan itu masa-masa yang lumayan sulit. Why? Saat itu aku sedang mengerjakan skripsi. Buka hal yang mudah hampir 2 sampai 3 kali dalam satu minggu bolak-balik Blitar-Malang (penelitian skripsi di Blitar). Di malang juga harus mengerjakan data disambi membimbing 2 anak yang hiperaktif (baca: Kristyo dan Firna). Mungkin kalau ada Jenna aku bisa ditolong untuk mengajari mereka, batinku saat itu, hahaha. Sebenarnya aku bisa saja berhenti memberi les, namun aku merasa bertanggung jawab mengajari Kristyo. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri, jadi bila ada nilainya yang jelek, aku juga sedih.

Beberapa bulan bersama keluarga Kristyo, aku jadi mengenal banyak orang. Kerabatnya, tetangganya, tukang bakso langganannya, dan teman-temannya. Bahkan saat kerabatnya mau pergi ke Kalimantan, dia berpamitan denganku dan berharap suatu saat bisa bertemu denganku lagi.

Akhirnya waktu itu tiba. Sedih. Rindu sekali dengan kenakalan mereka. Rindu suasana mama mengomel. Selamat jalan ya Kris, semoga di sana kamu bisa belajar lebig giat lagi tanpa harus diperintah dan diomeli mama. Hohoho. Sedangkan aku, revisi skripsi tentunya. Alhamdulillah hampir selesai. ^_^




Bersama si gendut Kristyo (kaos hijau), Keezi (kaos putih bergambar dia dan mamanya) dan teman-temannya. Wah, tinggiku kok sama dengan anak kelas 5 SD? O_o hahaha.

Jumat, 19 April 2013

Rujak Buah 2012 (PKLI Part 3 “Yang Formal?”)


Meskipun suka jalan-jalan dan bercanda sampe kena SP (Surat Peringatan) dari si mbah (ibu dari bu Gatot yang punya kos, si mbah ini sabar banget dan nggak pernah marah sama kami yang sering urakan , bahkan si mbah suka membantu kami membersihkan kos, terharu kalo inget) kalo bercanda jangan keras-keras biar nggak mbrebeki tetangga, kami tetap mengingat tugas kami sebagai mahasiswa yang sedang ‘magang’ di sekolah.

Di bawah ini pose kami yang memakai seragam saat bertugas di sekolah. Meskipun pake seragam formal, narsis dan selengean tetap aja nyantol.



Photo 1 (1001’12). Sesaat sebelum acara penyerahan mahasiswa dari dosen pada kepala sekolah.



Photo 2 (2001’12). Hampir tiap hari sarapan pecel nih...



Photo 3 (0102’12). Ruang piket yang penuh dengan gosip, makanan, tumpukan buku, dan tak lupa kenarsisan.



Photo 4 (lupa tanggal! aaargh). Waktunya rapat di masjid. Pak ketua Rifqi ceramah, yang laennya malah photo-photo. Hadeh..


Kalau yang di bawah ini, photo teman-teman bersama para siswa.



Photo 5. Wah Fauzan dikelilingi ABG, kesenengen dia.




Photo 6. Ma’ing bersama siswi-siswinya klop deh.



Photo 7. Aida di antara lautan ABG, brondooong.



Photo 8. Mbak Pin in action.



Photo 9. Muridnya bu Beta ada yang kehabisan obat nih kayaknya.



Photo 10. Mbak Vina anaknya banyak? O_o



Photo 11. Bu Nas jangan nangis ya..



Photo 12. Kalau yang ini photo bareng anak-anak TPQ setelah lomba. Lutu-lutuuu...


hahaha, lucu-lucu ya tingkah temen-temen berpose dengan murid-muridnya.




Photo 13. Niatnya foto buat vandel, tapi si Hilmi kerasukan kera sakti. Butuh sajen nih si Hilmi.




Berpuluh tahun ke depan pun, walau bentuk rumah ini sudah berubah, rumah ini akan terus kami simpan dalam memori seperti ini. Sebagai tempat penyimpan kenangan dua bulan berharga itu.

Jumat, 12 April 2013

Rujak Buah 2012 (PKLI Part 2 ”Cangkeman”)


Di kelompok PKLI MTsN Blitar ada anggota yang hobi membuat istilah menyesatkan tapi sering diikuti oleh teman-teman, dialah Bu Beta a.k. Besti. What? Salah satunya istilah cangkeman. Benar-benar menyesatkan!

Saat itu adalah momen Maulid nabi Muhammad SAW yang harus kami garap untuk acara kampung dan perwakilan da’i di sekolah. Lidah orang Jawa tidak telaten mengatakan kata maulidan untuk istilah sehari-hari di luar acara formal, sehingga mereka mengatakan mulutan. Sedangkan kata mulut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa menjadi kata cangkem. Istilah itulah yang membuat kita jadi sering bilang cangkeman.
(Tut tut tut... penjelasannya panjang kayak sepur O_o hehe).

Di bawah ini adalah momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di acara kampung maupun di sekolah.



Photo 1 (0702’12). Becak rodo limo, kadung macak ora sido lungo

Photo di atas diambil setelah pak ketua Rifqi mencak-mencak (pak ketua jarang banget marah, sekalinya cemberut, anggotanya jadi galau dan kalut). Kebiasaan cewek-cewek kalo mau pergi yang saling menunggu menjadikan semuanya nggak jadi pergi semua ke mushola.

Kronologisnya seperti ini = yang sudah siap pergi menunggu yang masih makan camilan. Yang masih makan camilan menunggu antri mandi. Yang sudah selesai mandi menunggu antri setrika. Yang sudah setrika menunggu antri kaca untuk dandan. Si kaca nggak suka dijadikan sarana narsis para cewek. Si kaca marah. Dia membuat siapa saja yang berkaca terlihat masih kurang saja. Yang dandan kebingungan dandan sampai bedaknya habis dan tetap saja terlihat masih kurang mak nyus. Si kaca tertawa kegirangan sampai waktu acara menukar takir selesai. Akhirnya semua nggak jadi berangkat. Pak ketua Rifqi mencak-mencak.

Akhirnya takirnya dibawa ke kos deh sama para arjuna (kesasar) dan...


Photo 2 (0702’12). Sikat bareng-bareng deh. Terimakasih Pak Gatot yang sudah memberikan takir sebanyak ini pada kami yang sering ngirit kalo masak.



Photo 3 (0902’12). Wah makan enak lagi. Alhamdulillah dijamu di acara Maulid warga kampung. Dalam hati berdoa,”Sering-sering aja beginii”. Ngarep.



Photo 4 (0902’12). Nyulik anak orang sebentar buat photo. Ikmal is the name of that cute boy!



Photo 5 (0902’12). Berhati-hatilah kalau kebanyakan makan sate, nanti bibir bisa monyong-monyong. O_o.



Photo 5 (0902’12). Teladan benar dua orang ini oe. Nyampe paris nih kayaknya.



Photo 6 (1602’12). Acara yang ada di sekolah ini membuat kita berjejer seperti pasien antri berobat.



Photo 7 (1602’12). Pak Kiyai Fauzan beringas setelah manggung. Isi mangkuk di depannya sudah ludes. Eh? Di sampingnya ada Ma’ing. Jadi siapa yang jadi tersangka? O_o.



Para calon bu guru ini nggak ketinggalan berpose di mana pun dan kapan pun. Semoga kameranya nggak bosan dengan wajah-wajah ini dan nggak berbuat jahat seperti si kaca. Amin..


Meskipun istilah cangkeman itu agak tidak sopan di telinga, namun kalau istilah itu diucapkan lagi sekarang maka ia akan mengantarkan kita pada kenangan manis masa PKLI dan pasti akan dibuat tertawa oleh kata itu.


Hidup cangkeman!!!
Hahaha