CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 26 Desember 2011

sekali-sekali masak

hmm.. selama ini selalu disuruh belajar masak sama bapak--ibuk--mas2q.. tapi di bulan Desember ini, masih sekali masak yang beneran, haha. kalo cuma masak aer sama mie instan sih bisa. meskipun cuma sekali, rasanya lumayan lho, semua orang rumah pada suka (hahaha!)

begini model masakannya :

waktu masih di atas kompor

taratarataraaa... inilah tumis buncis wortel yang kebanyakan kecap, haha


semoga di tahun 2012 mendatang, aku lebih punya niat buat belajar masak...
^_^

kusulap kain perca, jadilah bunga cantik!!

hmm... a few days ago, aq browsing2 dan nemu tutorial jahit di sini ini, berhubung ngeliat banyak banget kain perca yang ada di samping mesin jahit (ibukq suka jahit), so I want to make them to be pretty flowers...


like them:

.
.
.
follow the tutorial:

persiapkan kain perca, pensil, sesuatu yang bulat(untuk membuat pola), gunting, benang, jarum, dan dakron (isi boneka)


lalu buat pola


make as many as you want


jahit secara memutar sisi kain yang telah dipotong, lalu masukkan dakron


tarik benangnya, sehingga terbentuk bulatan


taraaaaa, this is it!


untuk mahkotanya, langkah-langkahnya seperti di bawah ini:



lipat kain jadi dua



fold the side, and the other side



use a pin to maintain the shape, and then stitch!


pull the thread!


make again


and again, as many as you want


united the crowns and the ball with suture


tadadadadaaa, you are pretty flowers!


wawawa... senengnyaaa!!!

kenapa Desember 2011?

dulu aku selalu menantikan datangnya bulan Desember. banyak hal yang membuatku bahagia di bulan Desember. tapi entah Desember tahun ini, semua terasa sangat cepat berubah. Di bulan yang sama ini aku merasakan bahagia yang sangat, dan kemudian datang kesedihan yang sangat pula. entahlah. Allah yang Maha membolak-balikkan hati.

bahkan desember belum lunas tanggalnya
namun hatiku belum mau berhenti menderita
apakah lebih baik aku amnesia
dan melupakan semuanya?

Jumat, 23 Desember 2011

inilah Lepti, leptop kesayanganku..

Lepti namanya. hadiah dari Bapak waktu aku semester tiga. sekarang aku udah semester tujuh akhir. waw, udah bersamaku sekitar 2 tahun lah..
Lepti udah nemenin aku ngerjain tugas, nulis cerita, curhat, bikin puisi, mengenang semua kehidupanku, semuanya.
terimakasih Lepti, yang aku bisa hanya membuatkanmu baju seperti ini saja, haha. kamu terlihat lebih cantik (cantik? emang dia cewek? haha).


ini bajunya Lepti, dibuat dari kain flanel, dijahit dengan tanganku sendiri


ini Lepti dengan bajunya dari sisi atas


ini Lepti dari samping


yang ini juga dari samping


Yah, meskipun sekarang batereinya udah ngedropan, tapi aku tetap sayang kamu Leptii...

Senin, 19 Desember 2011

aku suka kuciiiing

dari sekian banyak hewan yang Allah ciptakan, entah kenapa aku selalu tertarik sama kucing. di mana-mana ada kucing. kalo lagi bawa kamera, aku nyempet2in motret-motret. tapi sayangnya, aku jarang banget bawa kamera ke mana-mana, cuma sesekali aja. ini diaaaa mereka si 'pus' kuciing..


"ini almarhumah Wanya. kucing yang paliing kusayang"


"yang ini kucing nempel pagar, ketemu pas aku baru pulang dari kampuz. kucingnya melas, tapi imut banget"


"ini kucing item yang lagi makan tulang, ada di depan kosnya temen, ya ampuun sulit bgt ngambil pose yang pas buat kucing ini"


"ini juga, kucingnya lagi asoy berpose, haha, udah siap dipoto ala poto model"



"kucing di kosku sendiri. kalo jadi manusia mungkin bakalan ngomong,'hm, aku udah caem belum ya?' menyesuaikan ekspresinya, haha"


sementara ini dulu, haha, lg eror kompinyooo

Jumat, 16 Desember 2011

Titik-titik-titik

 pernah diposting di sini


Dia seorang yang baik hati, seorang penyayang, seorang penyabar, hingga aku bingung bila harus menjelaskan sesuatu yang buruk dari dirinya. Tak ada, bagiku tak ada. Dia menghujaniku dengan banyak kebahagiaan. Tapi semua menjadi tidak seimbang ketika aku hanya bisa memberinya sedikit kebahagiaan, dan selebihnya sakit hati. Sebab aku tak bisa mengimbanginya, sebab aku terlalu berprasangka.

Aku pernah berdoa di hari ketika setahun telah berlalu sejak aku bertemu pertama kali :
“Aku bersyukur Allah mempertemukanku denganmu,
Yang selalu menghujani hatiku dengan cinta,
Dalam masa depanku, aku ingin selalu ada dirimu,
Doaku pada-Nya,
Semoga akulah tulang rusukmu”

Namun ternyata terlalu muluk keinginanku. Aku harus merelakannya ketika hatiku telah sungguh tertaut padanya. Tak pernah aku membayangkan begitu sakitnya. Tapi apapun keadaannya, aku harus bisa melaluinya dengan mensugesti diriku sendiri: kamu wanita yang tegar, yang tidak akan rapuh oleh cinta, dan Allah tak akan memberikanmu rasa sakit yang tidak bisa kau tanggung.

Siang ini aku berjalan di bawah hujan. Di bawah payung itu aku berusaha meredam air mataku untuk tidak jatuh. Aku membiarkan air hujan saja yang mewakiliku, sebab aku tak ingin orang lain ikut merasakan kesedihanku.

Di episode kehidupan kami mendatang, entah aku bertemu dengannya lagi ataupun tidak, doaku padanya dari lubuk hati: semoga kamu bahagia selalu.

Happy Independent Day!

tulisan ini juga udah pernah kuposting di sini ni


I’m confused about my feeling
Don’t you know that you make me feel,
I’m not sure with my heart
Because of you
You always make me confuse

Sometimes, you come fast
Sometimes, you come slowly
Sometimes, you are there
Sometimes, you disappear
Are you toying my heart?
Are you trying to wave my heart?

And my honesty,
I hope that you send me your condition
Because I do miss your news

Why do you disappear?
Did I do something wrong?
You never told me…
Please comeback soon…


Rasanya begitu takut kehilangan, saat itu. Tapi Letto mengingatkanku dengan lirik indah lagunya, ’rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya’. Ya benar, sesungguhnya kita tidak memiliki apa pun. Semua yang melekat pada kita hanyalah titipan yang suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan. Lalu pantaskah aku merasa takut kehilangan? Sedang aku tak punya apa-apa.

Ikhlas, kata sederhana yang mudah diucapkan. Tapi untuk melakukannya butuh perjuangan. Menasehati orang lain untuk ikhlas dan sabar memang mudah. Tapi saat aku mencobanya, dengan diriku sendiri, rasanya seperti ada yang meremas hatiku layaknya cucian basah, sakit sekali. Tapi aku mau mencobanya.

Butuh waktu memang, tapi ketika aku telah menggapai titik di mana hatiku bebas dari belenggunya, rasanya begitu merdeka. Maka dengan percaya diri aku bisa lagi menegakkan kepalaku saat bertemu dengannya, dan tertawa-tawa di depannya. Tanpa ada kesulitan berkata-kata, aku bisa tersenyum tulus lagi padanya, tanpa benci. Sedang dia masih tak sanggup menatapku.

Saat aku berhasil membuka mataku, ternyata yang kulihat tak hanya dia. Mungkin memang benar kata pepatah,’Tuhan menginginkanmu bertemu dengan beberapa orang yang salah, sebelum kamu bertemu dengan seorang yang tepat’.

Ya, aku telah merdeka. Dan aku tak akan membiarkan dia merusak hidup dan perasaanku lagi. Kini, selalu kuberi jeda dan jarak yang panjang saat dia mencoba meraih hatiku lagi, sebab aku tak mau bodoh dan sakit kedua kalinya. Happy Independent Day!

Partner In Crime Berseragam

tulisan ini juga pernah nongol di facebookq ini ni


Darah mudaku saat itu terlampau meluap-luap! Ingin melakukan segala sesuatu yang baru, yang menyimpang dari kebiasaan. Kalimat ’peraturan dibuat untuk dilanggar’ memang rekat denganku, terutama saat aku masih berseragam –sekolah-. Segala macam kejahatan pelanggaran, baik di rumah mau pun di sekolah jarang membuatku susah. Dan aku sangat bersyukur punya partner yang selalu sehati untuk melakukan motto di atas.

Begini, sewaktu SD, hm tidak, bukan SD, tapi aku bersekolah di MI. MI yang sangat tega mengubek-ubek otak para murid di sekolah mulai pukul 7 pagi sampai pukul 3 sore. Ada jadwal mengaji di masjid ba’da dhuhur. Tapi karena aku sudah terlalu akrab dengan tembok sekolah, rasanya ingin melihat tembok-tembok lainnya. Walhasil, hampir setiap waktu mengaji, aku kabur bersama Irva, teman sebangkuku beserta sepedanya.

Hasrat untuk nakal itu sangat menggebu pada saat kelas 5 dan 6. Bahkan bukan hanya sesudah shalat dhuhur saja kami bolos. Tapi kami juga (terkadang) bolos untuk sholat dhuha dan sholat dhuhur berjamaah dengan alasan menjadi PKS –Pasukan Keamanan Sekolah-. Petentang-petenteng memakai aksesoris PKS dan membawa tongkat satpam di tengah jalan dengan alasan menyeberangkan murid-murid dari sekolah ke masjid (padahal kagak ada PKS juga mereka bisa nyebrang sendiri, orang jalannya aja jalan kecil).

Waktu siang ba’da dhuhur, di saat teman-teman lain mengaji bersama di masjid dan di kelas masing-masing, aku bersama Irva dan sepeda antiknya melancong berkeliling kota Blitar. Ke taman kota –Kebon Rojo- (dan terkadang sambil menikmati es pleret), alun-alun, perpustakaan Mastrip, masjid besar, toko buku, dan tempat-tempat lain yang menarik hati kami. Mendekati jam 2 siang, kami bertiga –aku, Irva, dan sepeda antik- kembali ke sekolah, dan memasang tampang innocent. Melanjutkan langkah ke kelas, dan mengikuti pelajaran lagi. Dan selama itu pula kami tak pernah dapat point hukuman –alhamdulillah, hehe-.

Pelanggaran yang berlangsung cukup lama itu akhirnya sedikit mereda. Alasannya adalah kami mungkin sudah mulai merasa banyak dosa. Apalagi terhadap Bu Siwi dan Pak Bas, dua guru yang telah mengajari kami mengaji di masjid (dan alhamdulillah, akhirnya Bu Siwi dan Pak Bas cinlok, menikah saat kami telah lulus). Semakin bertambah hari kami semakin sadar bahwa sebentar lagi akan ujian kelulusan. Maka kami bertiga –aku, Irva, dan sepeda antik- mulai menata diri sebagaimana seharusnya peran kami.

Baiklah, tobat itu berlangsung sampai kami lulus!! Setelah di MTs, bandel itu kambuh lagi, bahkan semakin parah. Sebab selain kami –aku dan Irva- merasa bahwa kami sudah bertambah gedhe, tapi juga karena partnerku bertambah banyak. Ya, bersama 8 sahabatku yang lainnya –Fusha, Endah, Dian, Faza, Alfi, Mila, Viena, dan Viki-. Kami ber-10 yang seperti perangko terkadang memang memanfaatkan keadaan.

Berbekal sebagai penguasa kunci ruang OSIS (kami semua anggota OSIS, ditambah lagi Fusha, Endah, Mila, dan aku adalah Badan Pelaksana Harian OSIS) dan penguasa sanggar Pramuka (kami semua anggota pramuka), kami ber-10 kalau bolos pelajaran tak perlu susah-susah. Tinggal buka salah satu ruangan –OSIS atau sanggar- dan masuk ke dalam untuk tidur atau pokeran –main kartu-. Dan untung mujur makmur jaya sentosa, selama itu pun tak pernah ada guru yang komplain bila kami ber-10 menghilang dari kelas.

Namun suatu hari, bapak kepala sekolah –Pak Khuluk- mencium gelagat kami, sebab semua sepatu kami berada di luar ruangan. Pak kepsek heran, tidak ada rapat OSIS atau apa pun, tapi di luar ruangan OSIS banyak sepatu pada saat jam pelajaran. Akhirnya kami ditegur, beginilah kira-kira kalimat teguran dari beliau :

”Bapak tahu kalian itu murid berprestasi di kelas (mujur banget, mayoritas dari kami 10 besar di kelas, terutama Mila, Endah, dan Fusha yang bergantian rangking 1, 2, dan 3) maupun di luar kelas (emang nasib mujur, kalau ikut lomba pramuka selalu dapat juara). Tapi kalian juga harus bisa menempatkan diri kalian bla...bla....bla....blaaaa.....blaaaaaaaaaa.........”

Itulah pelajaran berharga bagi kami. Maka setelah itu, bila kami ingin membolos lagi, kami memasukkan semua sepatu kami di dalam ruangan, supaya tidak diketahui bapak kepsek lagi. Hehehe, bukannya sadar malah tambah parah.

Hm, kejahatan pelanggaran tak berhenti sampai di situ, tapi berlanjut ssat menginjak SMA, Hm, MAN maksudku. Aku, Irva, Fusha, dan Endah meneruskan pendidikan di sekolah yang sama. Motto ’peraturan dibuat untuk dilanggar’ belum luntur. Tapi sungguh mujur, selama aku dan Irva melanggar peraturan di MAN, baik itu terlambat masuk kelas, membolos, maupun kabur dari asrama, tak pernah kami ketahuan dan kena hukuman. Beda halnya dengan Fusha dan Endah yang pernah terlambat beberapa menit pada waktu pelajaran kimianya Pak Barik, mereka langsung kena poin, tak boleh masuk kelas sebelum melapor ke ruang guru. Sedangkan aku dan Irva hanya bisa mengelus dada –prihatin- melihat dua sahabat kami kena poin. Hehehe.

Rasanya berbeda sekali melakukan pelanggaran saat masih berseragam –sekolah- dengan sudah tidak berseragam –kuliah-. Rindu sekali saat melihat anak-anak sekolah yang memakai rok hijau, biru donker, atau abu-abu, sebab pasti aku teringat dengan masa-masa dahulu kala. Masa-masa di mana aku selalu memiliki partner in crime berseragam itu. Kawan-kawanku, bagaimana kabar kalian? Masihkan kalian meneruskan aktivitas makar itu? Hehehe.

Diam

ini juga sudah pernah terposting di facebook aq ini


Sakit sekali, saat menyadari orang yang dipercaya ternyata membohongiku selama ini. Tapi aku (justru) harus berterimakasih padanya, sebab dia telah mengajariku untuk tidak bodoh lagi setelah ini. Senyumku sempat redup di awalnya, dan (dengan emosi) ingin meneriakinya seperti ini :

”Seperti padang savana, kau luas. Tapi aku seperti langit, kelapanganku melebihimu. Jadi bagaimana bisa kau meredupkan senyumku dengan segala kata-kata(sampah)mu? Di mana sebenarnya otakmu? Kau tak kan bisa menemukan kelapangan yang sama untuk menampung semak belukar yang kau punya lagi!”

Egoku menginginkan agar kumemaki tepat di depan bulu hidungnya. Tapi, akal sehatku mengatakan ’jangan (kau merendahkan dirimu)’. Hati nuraniku pun meminta untuk mengampuninya.

Akhirnya aku putuskan, biar saja dia dengan jalannya, dan aku dengan jalanku. Terserah, aku tak akan (sudi untuk) peduli lagi tentangnya. Dan syukurlah, hatiku kini merdeka, tak terbelenggu lagi dengan segala tentangnya.

Sangat sadar, bahwa aku tak punya penghapus yang bisa hilangkannya dari otakku, kecuali bila aku hilang ingatan –amnesia-. Tapi seiring berjalannya waktu, aku harap bisa mengampuninya dan hanya mengingat semua kebaikannya.

Dan sekarang, aku merasa lebih baik diam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Menghadapinya secara wajar –seperti biasanya (seolah tak terjadi apa-apa)-, dan mencoba mengampuni segala kesalahannya –yang dia tak menyadari bahwa aku telah mengetahui semuanya-.

Bukankah Tuhan Maha Pengampun, meski segala dosa telah menggunung? Dan aku? Aku manusia biasa yang punya ego dan emosi. Maka, untuk menjadi sabar dan pemaaf merupakan proses yang panjang bagiku. Kini, aku (masih berusaha) diam untuk meredam segala bentuk amarah, dan membiarkannya hingga dia lebur dengan sendirinya. Dan (semoga) aku dapat mengampuninya dengan segera.

Bye Bye Zombie Kampus!

tulisan ini juga udah lama terposting di facebook ini


Pertama nginjek kampus, aku nggak tau bakal jadi apa nantinya. Yang aku tahu ini hidup baru yang sangat berbeda dengan sekolah. Aku tahu di kampus ini aku nggak bisa hidup sendiri. Beda banget sama yang namanya sekolah yang kalau belajar musti pake seragam, kita masih diatur-atur dan diperhatiin guru. Di kampus ini terserah kita mau jadi apa, dosen nggak bakal sudi nanya macem-macem sama kita, atau cuma sekedar nanya,”udah sholat maghrib belom?”. Dosen gag bakalan peduli kita mau serius kuliah, maen-maen, sekedar cari gengsi, atau malah sekedar cuma cari jodoh.

Aku blo-on banget waktu pertama kenal dunia kampus, waktu pertama bingung sama yang namanya ’SKS’ (sambil nanya ke temen,”makanan apaan tuh?”), ’jurnal’, ’KRS’, ’paper’, ’librarian research’, dan nama-nama asing kampus lainnya. Yang aku tahu, aku harus masuk kuliah sesuai dengan jadwal dan kelas yang ditentukan. Duduk dengerin dosen ceramah sambil manggut-manggut (peduli amat paham apa enggak). Dikasih tugas sama dosen, nyari bahan di perpustakaan & internet, ngumpulin tugas, presentasi, tanya jawab. Gitu seterusnya, kayak zombie. Aku mulai ngebayangin, sampai empat tahun ke depan, apa aku musti berlagak layaknya mayat hidup?

Lalu aku memutuskan buat ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Ikut diklat, latihan, dan laen sebagainya. Semuanya cuma formalitas. Aku nggak nemuin ikatan batin sama sekali sama semua anggota UKM yang aku ikuti. Nggak ada taste sama sekali. Kembali aku jadi zombie saat kumpul dengan anggota UKM lainnya. Bahkan bisa diitung dengan jari selama aku jadi mahasiswa ini, berapa kali aku nginjek kantor UKM yang aku ikuti itu.

Aku jadi mayat hidup. Kalimat sampah itu selalu menjejali telingaku saat aku sendiri. Tapi semua itu buyar seketika saat aku sadar ada kalian. Kalian yang lebih dari sekedar teman atau pun sahabat. Ya, kalian adalah saudaraku. Aku nggak bakal bisa bayangin kalau nggak ada kalian. Aku bisa bener-bener jadi mayat hidup. Karena kalian aku jadi punya alesan buat tersenyum, tertawa, cerita macem-macem, nyablak, jujur, setia kawan, rela berkorban, lebay, dan kangen berat pas liburan panjang tiba.

Kita punya banyak perbedaan, but it’s no problem. Sebab perbedaan itu membuat kita saling melengkapi. Aku ngerasa kita layaknya sopran, alto, tenor, dan bass. Empat karakteristik suara yang amat berbeda. Tapi kita bisa sejalan menyatukan suara kita, hingga bisa menghasilkan nada-nada yang harmoni. Aku nggak ngerti gimana jadinya tanpa kalian. Karena kalian, aku bisa lancar ngerjain tugas sebab kita selalu saling bantu, aku nggak bingung waktu ada masalah sebab aku bisa cerita apa pun, aku nggak bengong kayak sapi ompong pas lagi liburan sebab kita selalu punya acara macem-macem.

Saat kumpul sama kalian, aku sering ngebayangin, apa yang akan terjadi dengan dua tahun ke depan setelah kita semua wisuda (amiin)? Kita bakal punya hidup masing-masing. Kita punya masa depan masing-masing dan nggak bakal punya waktu lagi buat cerita-cerita dan ketawa lepas sama-sama kayak gini. Aku pasti bakal ngerasa kehilangan lagi, perasaan yang sama kayak pas lulus SD, SMP, sama SMA, bahkan mungkin lebih.

Aku sadar, Allah ngasih kesempatan yang begitu berharga buat aku kenal sama kalian. Maka aku pengen kalian tahu isi hatiku. Makasi banget udah ngasi jutaan warna dalam hidupku dan mengusir kata ’mayat hidup’ dari pikiranku. Maafin aku yang banyak salah (tapi banyakan kalian deh kayaknya, hehe) sama kalian. Dan jangan lupa, teruskan motto kita, SPIRIT!!

Udah deh, kebanyakan basa-basi. Sebenernya aku cuma mau nanya, liburan depan kita ngapain rek? Udah pengen banget jalan-jalan lagi.

Rasa Itu di Kala Putih Abu-abu

pernah diposting di facebookq ini ni


“Iya, Mol, tadi aku ngeliat ‘dia’ di kantin. Ya Allah, seneng banget, Mol!” dengan berapi-api aku menceritakan hal yang sangat penting bagiku, tapi mungkin tidak penting untuk Molly.

“Iya ta, Ila? Wah, emang ‘dia’ kenapa? Gimana gimana?” Molly menanggapi ceritaku dengan serius, meskipun mungkin itu bukan hal yang penting untuknya. Dia memang sahabat dan pendengar yang sangat baik. Dan bla bla blaaa blaaaa, cerita mengalir begitu saja di kamar kami.

Aku tak dapat menyalahkan hatiku, yang tak bisa membendung getarannya saat ‘dia’ di depan mata. Hanya saja aku takut terlalu keras jantungku berdetak hingga ’dia’ bisa mendengarnya. Aku ingin bisa mengatakan padanya bahwa...

”Aku gila! sebab kepalaku dipenuhi wajahmu! Aku tetap bisa melihat wajahmu terjaga ataupun terpejam! Aku benar-benar telah gila!”

Sayangnya bibirku rapat terkunci dan hanya bisa mematung saat ’dia’ di depan mata.

Begitulah aku ketika bertemu ’dia’, saat SMA. Kalau diingat-ingat lagi saat ini, rasanya benar-benar sinting. Bagaimana tidak? Aku merasa bahwa ’dia’ layaknya alkohol yang mempengaruhi saraf-saraf otakku sehingga yang ada di kepalaku adalah matanya, seragam sekolahnya, tas sekolahnya, sendalnya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. ’dia’ juga layaknya files yang memenuhi memory otakku hingga terkadang aku jadi seperti komputer yang error kebanyakan beban, melamun terbang ke awang-awang, dan sering memandang ke lapangan basket dari jendela kelas, siapa tahu ’dia’ akan lewat sana.

Ya, itulah pertama kalinya hatiku benar-benar tergenggam erat, dan tanpa perlawanan aku membiarkannya begitu saja. Ada sesuatu yang membuatku berani nekat begitu saja demi mencoba menyisipkan sedikit kebahagiaan di hari ulang tahunnya.

Aku pernah kabur dari asrama, malam hari, ditemani kawan-kawanku. Ke mana? Aku pergi ke Gramedia Matos demi membelikannya buku untuk ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Saat itu hampir jam 9 malam. Toko-toko banyak yang hampir tutup. Tapi aku tetap ingin mencarikannya buku. Ya, setidaknya bila ’dia’ tidak pernah tahu siapa pengirim buku itu, ’dia’ akan selalu ingat bahwa ada yang selalu mengagumi dan mendoakannya saat SMA.

Saat kami semua (santri asrama) telah menyelesaikan tadarus ba’da sholat subuh, dengan menggebu aku meminta mbak Endah untuk mengantarkanku menaruh hadiah ulang tahun yang telah kusiapkan. Mbak Endah mendapat info dari temannya tentang posisi bangku ’dia’. Langsung saja, pagi itu di kala matahari masih sedikit malu menampakkan sinarnya, aku berlarian menuju kelas ’dia’ bersama mbak Endah. Aku berharap bahwa pintu kelas itu telah dibuka kuncinya, dan ternyata benar, dengan begitu saja aku dan mbak Endah dapat masuk kelas itu.

Mencari bangku sesuai dengan intruksi sumber informasi, dan meletakkan hadiah beserta puisi tujuh belas tahun yang telah kupersiapkan lama sebelumnya. Aku berharap bahwa hadiah itu sampai tepat di tangannya. Sekali itu aku memberikannya hadiah, dan doa semoga segala pengharapannya dapat tercapai.

Tak pernah sekali pun aku mengatakan padanya, tak ada identitas apa pun pada puisi mau pun hadiahnya. Jadi mungkin sampai sekarang dia tak pernah tahu bahwa aku pernah kabur dari asrama saat malam hari demi membelikannya hadiah, mengendap-endap ke kelasnya di pagi buta demi meletakkan puisi tujuh belas tahunnya.

Kawan-kawanku yang telah menjadi tempat sampah curhatku pun geregetan. Mereka bilang padaku agar aku memberitahukannya bahwa akulah yang menaruh puisi itu. Atau mereka yang akan mengatakan pada ’dia’ setelah aku lulus terlebih dahulu sehingga aku tidak malu (aku masuk SMA dengan tahun angkatan yang sama dengan ’dia’, namun aku harus lulus terlebih dahulu sebagai konsekuensi mengikuti kelas akselerasi).

Aku telah memutuskan, dan mengatakan TIDAK. Biarkanlah dia tidak pernah tahu siapa pemilik hati yang telah tergenggam oleh semua pribadinya yang mengagumkan. Hanya satu yang perlu ’dia’ tahu : ada seseorang yang senantiasa mengaguminya saat SMA.

Aku rindu perasaan itu. Aku rindu untuk sungguh-sungguh menyukai seseorang, seperti di SMA. Berkali-kali aku punya rasa suka dan akhirnya menguap begitu saja, tak seperti saat di SMA. Terkadang aku iri pada kawanku yang jatuh cinta. Seolah-olah berjuta bunga mekar di sekitarnya, hingga membuat wajahnya begitu merona. Namun tak jarang juga bunga itu layu tak lama kemudian. Demikian pula perasaanku pada ’dia’, kini tak lagi bermekaran layaknya saat SMA, begitu sayu dan layu. Namun aku bahagia pernah memiliki perasaan itu, meski tak sempurna.

Aku tak mau bunga seperti itu. Meski aku tahu bahwa setiap bunga pasti mati, sungguh aku ingin melampaui batas logika itu. Aku lebih suka menganalogikan perasaan itu seperti udara saja. Udara tak perlu dicari, ia ada di sekitar kita dan bisa dirasakan setiap detik, tiap detak jantung, memberikan kehidupan saat menghirupnya dalam.

Aku rindu perasaan itu, dan terkadang pertanyaan itu muncul lagi, kapankah aku bisa merasakannya lagi?. Dan jawabannya pun masih tetap sama, entahlah, tapi aku mau menunggu.

sesuatuu...

:) --> :)
:D --> :D
:$ --> :$
:( --> :(
:p --> :p
;) --> ;)
:k --> :k
:@ --> :@
:# --> :#
:x --> :x
:o --> :o
:L --> :L
:O --> :O
:r --> :r
:y --> :y
:t --> :t
:s --> :s
:~ --> :~
:v --> :v
:f --> :f
:d --> :d
:c --> :c
:z --> :z