CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 16 Desember 2011

Diam

ini juga sudah pernah terposting di facebook aq ini


Sakit sekali, saat menyadari orang yang dipercaya ternyata membohongiku selama ini. Tapi aku (justru) harus berterimakasih padanya, sebab dia telah mengajariku untuk tidak bodoh lagi setelah ini. Senyumku sempat redup di awalnya, dan (dengan emosi) ingin meneriakinya seperti ini :

”Seperti padang savana, kau luas. Tapi aku seperti langit, kelapanganku melebihimu. Jadi bagaimana bisa kau meredupkan senyumku dengan segala kata-kata(sampah)mu? Di mana sebenarnya otakmu? Kau tak kan bisa menemukan kelapangan yang sama untuk menampung semak belukar yang kau punya lagi!”

Egoku menginginkan agar kumemaki tepat di depan bulu hidungnya. Tapi, akal sehatku mengatakan ’jangan (kau merendahkan dirimu)’. Hati nuraniku pun meminta untuk mengampuninya.

Akhirnya aku putuskan, biar saja dia dengan jalannya, dan aku dengan jalanku. Terserah, aku tak akan (sudi untuk) peduli lagi tentangnya. Dan syukurlah, hatiku kini merdeka, tak terbelenggu lagi dengan segala tentangnya.

Sangat sadar, bahwa aku tak punya penghapus yang bisa hilangkannya dari otakku, kecuali bila aku hilang ingatan –amnesia-. Tapi seiring berjalannya waktu, aku harap bisa mengampuninya dan hanya mengingat semua kebaikannya.

Dan sekarang, aku merasa lebih baik diam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Menghadapinya secara wajar –seperti biasanya (seolah tak terjadi apa-apa)-, dan mencoba mengampuni segala kesalahannya –yang dia tak menyadari bahwa aku telah mengetahui semuanya-.

Bukankah Tuhan Maha Pengampun, meski segala dosa telah menggunung? Dan aku? Aku manusia biasa yang punya ego dan emosi. Maka, untuk menjadi sabar dan pemaaf merupakan proses yang panjang bagiku. Kini, aku (masih berusaha) diam untuk meredam segala bentuk amarah, dan membiarkannya hingga dia lebur dengan sendirinya. Dan (semoga) aku dapat mengampuninya dengan segera.

0 komentar:

Posting Komentar