CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 16 Desember 2011

Partner In Crime Berseragam

tulisan ini juga pernah nongol di facebookq ini ni


Darah mudaku saat itu terlampau meluap-luap! Ingin melakukan segala sesuatu yang baru, yang menyimpang dari kebiasaan. Kalimat ’peraturan dibuat untuk dilanggar’ memang rekat denganku, terutama saat aku masih berseragam –sekolah-. Segala macam kejahatan pelanggaran, baik di rumah mau pun di sekolah jarang membuatku susah. Dan aku sangat bersyukur punya partner yang selalu sehati untuk melakukan motto di atas.

Begini, sewaktu SD, hm tidak, bukan SD, tapi aku bersekolah di MI. MI yang sangat tega mengubek-ubek otak para murid di sekolah mulai pukul 7 pagi sampai pukul 3 sore. Ada jadwal mengaji di masjid ba’da dhuhur. Tapi karena aku sudah terlalu akrab dengan tembok sekolah, rasanya ingin melihat tembok-tembok lainnya. Walhasil, hampir setiap waktu mengaji, aku kabur bersama Irva, teman sebangkuku beserta sepedanya.

Hasrat untuk nakal itu sangat menggebu pada saat kelas 5 dan 6. Bahkan bukan hanya sesudah shalat dhuhur saja kami bolos. Tapi kami juga (terkadang) bolos untuk sholat dhuha dan sholat dhuhur berjamaah dengan alasan menjadi PKS –Pasukan Keamanan Sekolah-. Petentang-petenteng memakai aksesoris PKS dan membawa tongkat satpam di tengah jalan dengan alasan menyeberangkan murid-murid dari sekolah ke masjid (padahal kagak ada PKS juga mereka bisa nyebrang sendiri, orang jalannya aja jalan kecil).

Waktu siang ba’da dhuhur, di saat teman-teman lain mengaji bersama di masjid dan di kelas masing-masing, aku bersama Irva dan sepeda antiknya melancong berkeliling kota Blitar. Ke taman kota –Kebon Rojo- (dan terkadang sambil menikmati es pleret), alun-alun, perpustakaan Mastrip, masjid besar, toko buku, dan tempat-tempat lain yang menarik hati kami. Mendekati jam 2 siang, kami bertiga –aku, Irva, dan sepeda antik- kembali ke sekolah, dan memasang tampang innocent. Melanjutkan langkah ke kelas, dan mengikuti pelajaran lagi. Dan selama itu pula kami tak pernah dapat point hukuman –alhamdulillah, hehe-.

Pelanggaran yang berlangsung cukup lama itu akhirnya sedikit mereda. Alasannya adalah kami mungkin sudah mulai merasa banyak dosa. Apalagi terhadap Bu Siwi dan Pak Bas, dua guru yang telah mengajari kami mengaji di masjid (dan alhamdulillah, akhirnya Bu Siwi dan Pak Bas cinlok, menikah saat kami telah lulus). Semakin bertambah hari kami semakin sadar bahwa sebentar lagi akan ujian kelulusan. Maka kami bertiga –aku, Irva, dan sepeda antik- mulai menata diri sebagaimana seharusnya peran kami.

Baiklah, tobat itu berlangsung sampai kami lulus!! Setelah di MTs, bandel itu kambuh lagi, bahkan semakin parah. Sebab selain kami –aku dan Irva- merasa bahwa kami sudah bertambah gedhe, tapi juga karena partnerku bertambah banyak. Ya, bersama 8 sahabatku yang lainnya –Fusha, Endah, Dian, Faza, Alfi, Mila, Viena, dan Viki-. Kami ber-10 yang seperti perangko terkadang memang memanfaatkan keadaan.

Berbekal sebagai penguasa kunci ruang OSIS (kami semua anggota OSIS, ditambah lagi Fusha, Endah, Mila, dan aku adalah Badan Pelaksana Harian OSIS) dan penguasa sanggar Pramuka (kami semua anggota pramuka), kami ber-10 kalau bolos pelajaran tak perlu susah-susah. Tinggal buka salah satu ruangan –OSIS atau sanggar- dan masuk ke dalam untuk tidur atau pokeran –main kartu-. Dan untung mujur makmur jaya sentosa, selama itu pun tak pernah ada guru yang komplain bila kami ber-10 menghilang dari kelas.

Namun suatu hari, bapak kepala sekolah –Pak Khuluk- mencium gelagat kami, sebab semua sepatu kami berada di luar ruangan. Pak kepsek heran, tidak ada rapat OSIS atau apa pun, tapi di luar ruangan OSIS banyak sepatu pada saat jam pelajaran. Akhirnya kami ditegur, beginilah kira-kira kalimat teguran dari beliau :

”Bapak tahu kalian itu murid berprestasi di kelas (mujur banget, mayoritas dari kami 10 besar di kelas, terutama Mila, Endah, dan Fusha yang bergantian rangking 1, 2, dan 3) maupun di luar kelas (emang nasib mujur, kalau ikut lomba pramuka selalu dapat juara). Tapi kalian juga harus bisa menempatkan diri kalian bla...bla....bla....blaaaa.....blaaaaaaaaaa.........”

Itulah pelajaran berharga bagi kami. Maka setelah itu, bila kami ingin membolos lagi, kami memasukkan semua sepatu kami di dalam ruangan, supaya tidak diketahui bapak kepsek lagi. Hehehe, bukannya sadar malah tambah parah.

Hm, kejahatan pelanggaran tak berhenti sampai di situ, tapi berlanjut ssat menginjak SMA, Hm, MAN maksudku. Aku, Irva, Fusha, dan Endah meneruskan pendidikan di sekolah yang sama. Motto ’peraturan dibuat untuk dilanggar’ belum luntur. Tapi sungguh mujur, selama aku dan Irva melanggar peraturan di MAN, baik itu terlambat masuk kelas, membolos, maupun kabur dari asrama, tak pernah kami ketahuan dan kena hukuman. Beda halnya dengan Fusha dan Endah yang pernah terlambat beberapa menit pada waktu pelajaran kimianya Pak Barik, mereka langsung kena poin, tak boleh masuk kelas sebelum melapor ke ruang guru. Sedangkan aku dan Irva hanya bisa mengelus dada –prihatin- melihat dua sahabat kami kena poin. Hehehe.

Rasanya berbeda sekali melakukan pelanggaran saat masih berseragam –sekolah- dengan sudah tidak berseragam –kuliah-. Rindu sekali saat melihat anak-anak sekolah yang memakai rok hijau, biru donker, atau abu-abu, sebab pasti aku teringat dengan masa-masa dahulu kala. Masa-masa di mana aku selalu memiliki partner in crime berseragam itu. Kawan-kawanku, bagaimana kabar kalian? Masihkan kalian meneruskan aktivitas makar itu? Hehehe.

0 komentar:

Posting Komentar