CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 16 Desember 2011

Rasa Itu di Kala Putih Abu-abu

pernah diposting di facebookq ini ni


“Iya, Mol, tadi aku ngeliat ‘dia’ di kantin. Ya Allah, seneng banget, Mol!” dengan berapi-api aku menceritakan hal yang sangat penting bagiku, tapi mungkin tidak penting untuk Molly.

“Iya ta, Ila? Wah, emang ‘dia’ kenapa? Gimana gimana?” Molly menanggapi ceritaku dengan serius, meskipun mungkin itu bukan hal yang penting untuknya. Dia memang sahabat dan pendengar yang sangat baik. Dan bla bla blaaa blaaaa, cerita mengalir begitu saja di kamar kami.

Aku tak dapat menyalahkan hatiku, yang tak bisa membendung getarannya saat ‘dia’ di depan mata. Hanya saja aku takut terlalu keras jantungku berdetak hingga ’dia’ bisa mendengarnya. Aku ingin bisa mengatakan padanya bahwa...

”Aku gila! sebab kepalaku dipenuhi wajahmu! Aku tetap bisa melihat wajahmu terjaga ataupun terpejam! Aku benar-benar telah gila!”

Sayangnya bibirku rapat terkunci dan hanya bisa mematung saat ’dia’ di depan mata.

Begitulah aku ketika bertemu ’dia’, saat SMA. Kalau diingat-ingat lagi saat ini, rasanya benar-benar sinting. Bagaimana tidak? Aku merasa bahwa ’dia’ layaknya alkohol yang mempengaruhi saraf-saraf otakku sehingga yang ada di kepalaku adalah matanya, seragam sekolahnya, tas sekolahnya, sendalnya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. ’dia’ juga layaknya files yang memenuhi memory otakku hingga terkadang aku jadi seperti komputer yang error kebanyakan beban, melamun terbang ke awang-awang, dan sering memandang ke lapangan basket dari jendela kelas, siapa tahu ’dia’ akan lewat sana.

Ya, itulah pertama kalinya hatiku benar-benar tergenggam erat, dan tanpa perlawanan aku membiarkannya begitu saja. Ada sesuatu yang membuatku berani nekat begitu saja demi mencoba menyisipkan sedikit kebahagiaan di hari ulang tahunnya.

Aku pernah kabur dari asrama, malam hari, ditemani kawan-kawanku. Ke mana? Aku pergi ke Gramedia Matos demi membelikannya buku untuk ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Saat itu hampir jam 9 malam. Toko-toko banyak yang hampir tutup. Tapi aku tetap ingin mencarikannya buku. Ya, setidaknya bila ’dia’ tidak pernah tahu siapa pengirim buku itu, ’dia’ akan selalu ingat bahwa ada yang selalu mengagumi dan mendoakannya saat SMA.

Saat kami semua (santri asrama) telah menyelesaikan tadarus ba’da sholat subuh, dengan menggebu aku meminta mbak Endah untuk mengantarkanku menaruh hadiah ulang tahun yang telah kusiapkan. Mbak Endah mendapat info dari temannya tentang posisi bangku ’dia’. Langsung saja, pagi itu di kala matahari masih sedikit malu menampakkan sinarnya, aku berlarian menuju kelas ’dia’ bersama mbak Endah. Aku berharap bahwa pintu kelas itu telah dibuka kuncinya, dan ternyata benar, dengan begitu saja aku dan mbak Endah dapat masuk kelas itu.

Mencari bangku sesuai dengan intruksi sumber informasi, dan meletakkan hadiah beserta puisi tujuh belas tahun yang telah kupersiapkan lama sebelumnya. Aku berharap bahwa hadiah itu sampai tepat di tangannya. Sekali itu aku memberikannya hadiah, dan doa semoga segala pengharapannya dapat tercapai.

Tak pernah sekali pun aku mengatakan padanya, tak ada identitas apa pun pada puisi mau pun hadiahnya. Jadi mungkin sampai sekarang dia tak pernah tahu bahwa aku pernah kabur dari asrama saat malam hari demi membelikannya hadiah, mengendap-endap ke kelasnya di pagi buta demi meletakkan puisi tujuh belas tahunnya.

Kawan-kawanku yang telah menjadi tempat sampah curhatku pun geregetan. Mereka bilang padaku agar aku memberitahukannya bahwa akulah yang menaruh puisi itu. Atau mereka yang akan mengatakan pada ’dia’ setelah aku lulus terlebih dahulu sehingga aku tidak malu (aku masuk SMA dengan tahun angkatan yang sama dengan ’dia’, namun aku harus lulus terlebih dahulu sebagai konsekuensi mengikuti kelas akselerasi).

Aku telah memutuskan, dan mengatakan TIDAK. Biarkanlah dia tidak pernah tahu siapa pemilik hati yang telah tergenggam oleh semua pribadinya yang mengagumkan. Hanya satu yang perlu ’dia’ tahu : ada seseorang yang senantiasa mengaguminya saat SMA.

Aku rindu perasaan itu. Aku rindu untuk sungguh-sungguh menyukai seseorang, seperti di SMA. Berkali-kali aku punya rasa suka dan akhirnya menguap begitu saja, tak seperti saat di SMA. Terkadang aku iri pada kawanku yang jatuh cinta. Seolah-olah berjuta bunga mekar di sekitarnya, hingga membuat wajahnya begitu merona. Namun tak jarang juga bunga itu layu tak lama kemudian. Demikian pula perasaanku pada ’dia’, kini tak lagi bermekaran layaknya saat SMA, begitu sayu dan layu. Namun aku bahagia pernah memiliki perasaan itu, meski tak sempurna.

Aku tak mau bunga seperti itu. Meski aku tahu bahwa setiap bunga pasti mati, sungguh aku ingin melampaui batas logika itu. Aku lebih suka menganalogikan perasaan itu seperti udara saja. Udara tak perlu dicari, ia ada di sekitar kita dan bisa dirasakan setiap detik, tiap detak jantung, memberikan kehidupan saat menghirupnya dalam.

Aku rindu perasaan itu, dan terkadang pertanyaan itu muncul lagi, kapankah aku bisa merasakannya lagi?. Dan jawabannya pun masih tetap sama, entahlah, tapi aku mau menunggu.

0 komentar:

Posting Komentar