CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 26 Desember 2011

sekali-sekali masak

hmm.. selama ini selalu disuruh belajar masak sama bapak--ibuk--mas2q.. tapi di bulan Desember ini, masih sekali masak yang beneran, haha. kalo cuma masak aer sama mie instan sih bisa. meskipun cuma sekali, rasanya lumayan lho, semua orang rumah pada suka (hahaha!)

begini model masakannya :

waktu masih di atas kompor

taratarataraaa... inilah tumis buncis wortel yang kebanyakan kecap, haha


semoga di tahun 2012 mendatang, aku lebih punya niat buat belajar masak...
^_^

kusulap kain perca, jadilah bunga cantik!!

hmm... a few days ago, aq browsing2 dan nemu tutorial jahit di sini ini, berhubung ngeliat banyak banget kain perca yang ada di samping mesin jahit (ibukq suka jahit), so I want to make them to be pretty flowers...


like them:

.
.
.
follow the tutorial:

persiapkan kain perca, pensil, sesuatu yang bulat(untuk membuat pola), gunting, benang, jarum, dan dakron (isi boneka)


lalu buat pola


make as many as you want


jahit secara memutar sisi kain yang telah dipotong, lalu masukkan dakron


tarik benangnya, sehingga terbentuk bulatan


taraaaaa, this is it!


untuk mahkotanya, langkah-langkahnya seperti di bawah ini:



lipat kain jadi dua



fold the side, and the other side



use a pin to maintain the shape, and then stitch!


pull the thread!


make again


and again, as many as you want


united the crowns and the ball with suture


tadadadadaaa, you are pretty flowers!


wawawa... senengnyaaa!!!

kenapa Desember 2011?

dulu aku selalu menantikan datangnya bulan Desember. banyak hal yang membuatku bahagia di bulan Desember. tapi entah Desember tahun ini, semua terasa sangat cepat berubah. Di bulan yang sama ini aku merasakan bahagia yang sangat, dan kemudian datang kesedihan yang sangat pula. entahlah. Allah yang Maha membolak-balikkan hati.

bahkan desember belum lunas tanggalnya
namun hatiku belum mau berhenti menderita
apakah lebih baik aku amnesia
dan melupakan semuanya?

Jumat, 23 Desember 2011

inilah Lepti, leptop kesayanganku..

Lepti namanya. hadiah dari Bapak waktu aku semester tiga. sekarang aku udah semester tujuh akhir. waw, udah bersamaku sekitar 2 tahun lah..
Lepti udah nemenin aku ngerjain tugas, nulis cerita, curhat, bikin puisi, mengenang semua kehidupanku, semuanya.
terimakasih Lepti, yang aku bisa hanya membuatkanmu baju seperti ini saja, haha. kamu terlihat lebih cantik (cantik? emang dia cewek? haha).


ini bajunya Lepti, dibuat dari kain flanel, dijahit dengan tanganku sendiri


ini Lepti dengan bajunya dari sisi atas


ini Lepti dari samping


yang ini juga dari samping


Yah, meskipun sekarang batereinya udah ngedropan, tapi aku tetap sayang kamu Leptii...

Senin, 19 Desember 2011

aku suka kuciiiing

dari sekian banyak hewan yang Allah ciptakan, entah kenapa aku selalu tertarik sama kucing. di mana-mana ada kucing. kalo lagi bawa kamera, aku nyempet2in motret-motret. tapi sayangnya, aku jarang banget bawa kamera ke mana-mana, cuma sesekali aja. ini diaaaa mereka si 'pus' kuciing..


"ini almarhumah Wanya. kucing yang paliing kusayang"


"yang ini kucing nempel pagar, ketemu pas aku baru pulang dari kampuz. kucingnya melas, tapi imut banget"


"ini kucing item yang lagi makan tulang, ada di depan kosnya temen, ya ampuun sulit bgt ngambil pose yang pas buat kucing ini"


"ini juga, kucingnya lagi asoy berpose, haha, udah siap dipoto ala poto model"



"kucing di kosku sendiri. kalo jadi manusia mungkin bakalan ngomong,'hm, aku udah caem belum ya?' menyesuaikan ekspresinya, haha"


sementara ini dulu, haha, lg eror kompinyooo

Jumat, 16 Desember 2011

Titik-titik-titik

 pernah diposting di sini


Dia seorang yang baik hati, seorang penyayang, seorang penyabar, hingga aku bingung bila harus menjelaskan sesuatu yang buruk dari dirinya. Tak ada, bagiku tak ada. Dia menghujaniku dengan banyak kebahagiaan. Tapi semua menjadi tidak seimbang ketika aku hanya bisa memberinya sedikit kebahagiaan, dan selebihnya sakit hati. Sebab aku tak bisa mengimbanginya, sebab aku terlalu berprasangka.

Aku pernah berdoa di hari ketika setahun telah berlalu sejak aku bertemu pertama kali :
“Aku bersyukur Allah mempertemukanku denganmu,
Yang selalu menghujani hatiku dengan cinta,
Dalam masa depanku, aku ingin selalu ada dirimu,
Doaku pada-Nya,
Semoga akulah tulang rusukmu”

Namun ternyata terlalu muluk keinginanku. Aku harus merelakannya ketika hatiku telah sungguh tertaut padanya. Tak pernah aku membayangkan begitu sakitnya. Tapi apapun keadaannya, aku harus bisa melaluinya dengan mensugesti diriku sendiri: kamu wanita yang tegar, yang tidak akan rapuh oleh cinta, dan Allah tak akan memberikanmu rasa sakit yang tidak bisa kau tanggung.

Siang ini aku berjalan di bawah hujan. Di bawah payung itu aku berusaha meredam air mataku untuk tidak jatuh. Aku membiarkan air hujan saja yang mewakiliku, sebab aku tak ingin orang lain ikut merasakan kesedihanku.

Di episode kehidupan kami mendatang, entah aku bertemu dengannya lagi ataupun tidak, doaku padanya dari lubuk hati: semoga kamu bahagia selalu.

Happy Independent Day!

tulisan ini juga udah pernah kuposting di sini ni


I’m confused about my feeling
Don’t you know that you make me feel,
I’m not sure with my heart
Because of you
You always make me confuse

Sometimes, you come fast
Sometimes, you come slowly
Sometimes, you are there
Sometimes, you disappear
Are you toying my heart?
Are you trying to wave my heart?

And my honesty,
I hope that you send me your condition
Because I do miss your news

Why do you disappear?
Did I do something wrong?
You never told me…
Please comeback soon…


Rasanya begitu takut kehilangan, saat itu. Tapi Letto mengingatkanku dengan lirik indah lagunya, ’rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya’. Ya benar, sesungguhnya kita tidak memiliki apa pun. Semua yang melekat pada kita hanyalah titipan yang suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan. Lalu pantaskah aku merasa takut kehilangan? Sedang aku tak punya apa-apa.

Ikhlas, kata sederhana yang mudah diucapkan. Tapi untuk melakukannya butuh perjuangan. Menasehati orang lain untuk ikhlas dan sabar memang mudah. Tapi saat aku mencobanya, dengan diriku sendiri, rasanya seperti ada yang meremas hatiku layaknya cucian basah, sakit sekali. Tapi aku mau mencobanya.

Butuh waktu memang, tapi ketika aku telah menggapai titik di mana hatiku bebas dari belenggunya, rasanya begitu merdeka. Maka dengan percaya diri aku bisa lagi menegakkan kepalaku saat bertemu dengannya, dan tertawa-tawa di depannya. Tanpa ada kesulitan berkata-kata, aku bisa tersenyum tulus lagi padanya, tanpa benci. Sedang dia masih tak sanggup menatapku.

Saat aku berhasil membuka mataku, ternyata yang kulihat tak hanya dia. Mungkin memang benar kata pepatah,’Tuhan menginginkanmu bertemu dengan beberapa orang yang salah, sebelum kamu bertemu dengan seorang yang tepat’.

Ya, aku telah merdeka. Dan aku tak akan membiarkan dia merusak hidup dan perasaanku lagi. Kini, selalu kuberi jeda dan jarak yang panjang saat dia mencoba meraih hatiku lagi, sebab aku tak mau bodoh dan sakit kedua kalinya. Happy Independent Day!

Partner In Crime Berseragam

tulisan ini juga pernah nongol di facebookq ini ni


Darah mudaku saat itu terlampau meluap-luap! Ingin melakukan segala sesuatu yang baru, yang menyimpang dari kebiasaan. Kalimat ’peraturan dibuat untuk dilanggar’ memang rekat denganku, terutama saat aku masih berseragam –sekolah-. Segala macam kejahatan pelanggaran, baik di rumah mau pun di sekolah jarang membuatku susah. Dan aku sangat bersyukur punya partner yang selalu sehati untuk melakukan motto di atas.

Begini, sewaktu SD, hm tidak, bukan SD, tapi aku bersekolah di MI. MI yang sangat tega mengubek-ubek otak para murid di sekolah mulai pukul 7 pagi sampai pukul 3 sore. Ada jadwal mengaji di masjid ba’da dhuhur. Tapi karena aku sudah terlalu akrab dengan tembok sekolah, rasanya ingin melihat tembok-tembok lainnya. Walhasil, hampir setiap waktu mengaji, aku kabur bersama Irva, teman sebangkuku beserta sepedanya.

Hasrat untuk nakal itu sangat menggebu pada saat kelas 5 dan 6. Bahkan bukan hanya sesudah shalat dhuhur saja kami bolos. Tapi kami juga (terkadang) bolos untuk sholat dhuha dan sholat dhuhur berjamaah dengan alasan menjadi PKS –Pasukan Keamanan Sekolah-. Petentang-petenteng memakai aksesoris PKS dan membawa tongkat satpam di tengah jalan dengan alasan menyeberangkan murid-murid dari sekolah ke masjid (padahal kagak ada PKS juga mereka bisa nyebrang sendiri, orang jalannya aja jalan kecil).

Waktu siang ba’da dhuhur, di saat teman-teman lain mengaji bersama di masjid dan di kelas masing-masing, aku bersama Irva dan sepeda antiknya melancong berkeliling kota Blitar. Ke taman kota –Kebon Rojo- (dan terkadang sambil menikmati es pleret), alun-alun, perpustakaan Mastrip, masjid besar, toko buku, dan tempat-tempat lain yang menarik hati kami. Mendekati jam 2 siang, kami bertiga –aku, Irva, dan sepeda antik- kembali ke sekolah, dan memasang tampang innocent. Melanjutkan langkah ke kelas, dan mengikuti pelajaran lagi. Dan selama itu pula kami tak pernah dapat point hukuman –alhamdulillah, hehe-.

Pelanggaran yang berlangsung cukup lama itu akhirnya sedikit mereda. Alasannya adalah kami mungkin sudah mulai merasa banyak dosa. Apalagi terhadap Bu Siwi dan Pak Bas, dua guru yang telah mengajari kami mengaji di masjid (dan alhamdulillah, akhirnya Bu Siwi dan Pak Bas cinlok, menikah saat kami telah lulus). Semakin bertambah hari kami semakin sadar bahwa sebentar lagi akan ujian kelulusan. Maka kami bertiga –aku, Irva, dan sepeda antik- mulai menata diri sebagaimana seharusnya peran kami.

Baiklah, tobat itu berlangsung sampai kami lulus!! Setelah di MTs, bandel itu kambuh lagi, bahkan semakin parah. Sebab selain kami –aku dan Irva- merasa bahwa kami sudah bertambah gedhe, tapi juga karena partnerku bertambah banyak. Ya, bersama 8 sahabatku yang lainnya –Fusha, Endah, Dian, Faza, Alfi, Mila, Viena, dan Viki-. Kami ber-10 yang seperti perangko terkadang memang memanfaatkan keadaan.

Berbekal sebagai penguasa kunci ruang OSIS (kami semua anggota OSIS, ditambah lagi Fusha, Endah, Mila, dan aku adalah Badan Pelaksana Harian OSIS) dan penguasa sanggar Pramuka (kami semua anggota pramuka), kami ber-10 kalau bolos pelajaran tak perlu susah-susah. Tinggal buka salah satu ruangan –OSIS atau sanggar- dan masuk ke dalam untuk tidur atau pokeran –main kartu-. Dan untung mujur makmur jaya sentosa, selama itu pun tak pernah ada guru yang komplain bila kami ber-10 menghilang dari kelas.

Namun suatu hari, bapak kepala sekolah –Pak Khuluk- mencium gelagat kami, sebab semua sepatu kami berada di luar ruangan. Pak kepsek heran, tidak ada rapat OSIS atau apa pun, tapi di luar ruangan OSIS banyak sepatu pada saat jam pelajaran. Akhirnya kami ditegur, beginilah kira-kira kalimat teguran dari beliau :

”Bapak tahu kalian itu murid berprestasi di kelas (mujur banget, mayoritas dari kami 10 besar di kelas, terutama Mila, Endah, dan Fusha yang bergantian rangking 1, 2, dan 3) maupun di luar kelas (emang nasib mujur, kalau ikut lomba pramuka selalu dapat juara). Tapi kalian juga harus bisa menempatkan diri kalian bla...bla....bla....blaaaa.....blaaaaaaaaaa.........”

Itulah pelajaran berharga bagi kami. Maka setelah itu, bila kami ingin membolos lagi, kami memasukkan semua sepatu kami di dalam ruangan, supaya tidak diketahui bapak kepsek lagi. Hehehe, bukannya sadar malah tambah parah.

Hm, kejahatan pelanggaran tak berhenti sampai di situ, tapi berlanjut ssat menginjak SMA, Hm, MAN maksudku. Aku, Irva, Fusha, dan Endah meneruskan pendidikan di sekolah yang sama. Motto ’peraturan dibuat untuk dilanggar’ belum luntur. Tapi sungguh mujur, selama aku dan Irva melanggar peraturan di MAN, baik itu terlambat masuk kelas, membolos, maupun kabur dari asrama, tak pernah kami ketahuan dan kena hukuman. Beda halnya dengan Fusha dan Endah yang pernah terlambat beberapa menit pada waktu pelajaran kimianya Pak Barik, mereka langsung kena poin, tak boleh masuk kelas sebelum melapor ke ruang guru. Sedangkan aku dan Irva hanya bisa mengelus dada –prihatin- melihat dua sahabat kami kena poin. Hehehe.

Rasanya berbeda sekali melakukan pelanggaran saat masih berseragam –sekolah- dengan sudah tidak berseragam –kuliah-. Rindu sekali saat melihat anak-anak sekolah yang memakai rok hijau, biru donker, atau abu-abu, sebab pasti aku teringat dengan masa-masa dahulu kala. Masa-masa di mana aku selalu memiliki partner in crime berseragam itu. Kawan-kawanku, bagaimana kabar kalian? Masihkan kalian meneruskan aktivitas makar itu? Hehehe.

Diam

ini juga sudah pernah terposting di facebook aq ini


Sakit sekali, saat menyadari orang yang dipercaya ternyata membohongiku selama ini. Tapi aku (justru) harus berterimakasih padanya, sebab dia telah mengajariku untuk tidak bodoh lagi setelah ini. Senyumku sempat redup di awalnya, dan (dengan emosi) ingin meneriakinya seperti ini :

”Seperti padang savana, kau luas. Tapi aku seperti langit, kelapanganku melebihimu. Jadi bagaimana bisa kau meredupkan senyumku dengan segala kata-kata(sampah)mu? Di mana sebenarnya otakmu? Kau tak kan bisa menemukan kelapangan yang sama untuk menampung semak belukar yang kau punya lagi!”

Egoku menginginkan agar kumemaki tepat di depan bulu hidungnya. Tapi, akal sehatku mengatakan ’jangan (kau merendahkan dirimu)’. Hati nuraniku pun meminta untuk mengampuninya.

Akhirnya aku putuskan, biar saja dia dengan jalannya, dan aku dengan jalanku. Terserah, aku tak akan (sudi untuk) peduli lagi tentangnya. Dan syukurlah, hatiku kini merdeka, tak terbelenggu lagi dengan segala tentangnya.

Sangat sadar, bahwa aku tak punya penghapus yang bisa hilangkannya dari otakku, kecuali bila aku hilang ingatan –amnesia-. Tapi seiring berjalannya waktu, aku harap bisa mengampuninya dan hanya mengingat semua kebaikannya.

Dan sekarang, aku merasa lebih baik diam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Menghadapinya secara wajar –seperti biasanya (seolah tak terjadi apa-apa)-, dan mencoba mengampuni segala kesalahannya –yang dia tak menyadari bahwa aku telah mengetahui semuanya-.

Bukankah Tuhan Maha Pengampun, meski segala dosa telah menggunung? Dan aku? Aku manusia biasa yang punya ego dan emosi. Maka, untuk menjadi sabar dan pemaaf merupakan proses yang panjang bagiku. Kini, aku (masih berusaha) diam untuk meredam segala bentuk amarah, dan membiarkannya hingga dia lebur dengan sendirinya. Dan (semoga) aku dapat mengampuninya dengan segera.

Bye Bye Zombie Kampus!

tulisan ini juga udah lama terposting di facebook ini


Pertama nginjek kampus, aku nggak tau bakal jadi apa nantinya. Yang aku tahu ini hidup baru yang sangat berbeda dengan sekolah. Aku tahu di kampus ini aku nggak bisa hidup sendiri. Beda banget sama yang namanya sekolah yang kalau belajar musti pake seragam, kita masih diatur-atur dan diperhatiin guru. Di kampus ini terserah kita mau jadi apa, dosen nggak bakal sudi nanya macem-macem sama kita, atau cuma sekedar nanya,”udah sholat maghrib belom?”. Dosen gag bakalan peduli kita mau serius kuliah, maen-maen, sekedar cari gengsi, atau malah sekedar cuma cari jodoh.

Aku blo-on banget waktu pertama kenal dunia kampus, waktu pertama bingung sama yang namanya ’SKS’ (sambil nanya ke temen,”makanan apaan tuh?”), ’jurnal’, ’KRS’, ’paper’, ’librarian research’, dan nama-nama asing kampus lainnya. Yang aku tahu, aku harus masuk kuliah sesuai dengan jadwal dan kelas yang ditentukan. Duduk dengerin dosen ceramah sambil manggut-manggut (peduli amat paham apa enggak). Dikasih tugas sama dosen, nyari bahan di perpustakaan & internet, ngumpulin tugas, presentasi, tanya jawab. Gitu seterusnya, kayak zombie. Aku mulai ngebayangin, sampai empat tahun ke depan, apa aku musti berlagak layaknya mayat hidup?

Lalu aku memutuskan buat ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Ikut diklat, latihan, dan laen sebagainya. Semuanya cuma formalitas. Aku nggak nemuin ikatan batin sama sekali sama semua anggota UKM yang aku ikuti. Nggak ada taste sama sekali. Kembali aku jadi zombie saat kumpul dengan anggota UKM lainnya. Bahkan bisa diitung dengan jari selama aku jadi mahasiswa ini, berapa kali aku nginjek kantor UKM yang aku ikuti itu.

Aku jadi mayat hidup. Kalimat sampah itu selalu menjejali telingaku saat aku sendiri. Tapi semua itu buyar seketika saat aku sadar ada kalian. Kalian yang lebih dari sekedar teman atau pun sahabat. Ya, kalian adalah saudaraku. Aku nggak bakal bisa bayangin kalau nggak ada kalian. Aku bisa bener-bener jadi mayat hidup. Karena kalian aku jadi punya alesan buat tersenyum, tertawa, cerita macem-macem, nyablak, jujur, setia kawan, rela berkorban, lebay, dan kangen berat pas liburan panjang tiba.

Kita punya banyak perbedaan, but it’s no problem. Sebab perbedaan itu membuat kita saling melengkapi. Aku ngerasa kita layaknya sopran, alto, tenor, dan bass. Empat karakteristik suara yang amat berbeda. Tapi kita bisa sejalan menyatukan suara kita, hingga bisa menghasilkan nada-nada yang harmoni. Aku nggak ngerti gimana jadinya tanpa kalian. Karena kalian, aku bisa lancar ngerjain tugas sebab kita selalu saling bantu, aku nggak bingung waktu ada masalah sebab aku bisa cerita apa pun, aku nggak bengong kayak sapi ompong pas lagi liburan sebab kita selalu punya acara macem-macem.

Saat kumpul sama kalian, aku sering ngebayangin, apa yang akan terjadi dengan dua tahun ke depan setelah kita semua wisuda (amiin)? Kita bakal punya hidup masing-masing. Kita punya masa depan masing-masing dan nggak bakal punya waktu lagi buat cerita-cerita dan ketawa lepas sama-sama kayak gini. Aku pasti bakal ngerasa kehilangan lagi, perasaan yang sama kayak pas lulus SD, SMP, sama SMA, bahkan mungkin lebih.

Aku sadar, Allah ngasih kesempatan yang begitu berharga buat aku kenal sama kalian. Maka aku pengen kalian tahu isi hatiku. Makasi banget udah ngasi jutaan warna dalam hidupku dan mengusir kata ’mayat hidup’ dari pikiranku. Maafin aku yang banyak salah (tapi banyakan kalian deh kayaknya, hehe) sama kalian. Dan jangan lupa, teruskan motto kita, SPIRIT!!

Udah deh, kebanyakan basa-basi. Sebenernya aku cuma mau nanya, liburan depan kita ngapain rek? Udah pengen banget jalan-jalan lagi.

Rasa Itu di Kala Putih Abu-abu

pernah diposting di facebookq ini ni


“Iya, Mol, tadi aku ngeliat ‘dia’ di kantin. Ya Allah, seneng banget, Mol!” dengan berapi-api aku menceritakan hal yang sangat penting bagiku, tapi mungkin tidak penting untuk Molly.

“Iya ta, Ila? Wah, emang ‘dia’ kenapa? Gimana gimana?” Molly menanggapi ceritaku dengan serius, meskipun mungkin itu bukan hal yang penting untuknya. Dia memang sahabat dan pendengar yang sangat baik. Dan bla bla blaaa blaaaa, cerita mengalir begitu saja di kamar kami.

Aku tak dapat menyalahkan hatiku, yang tak bisa membendung getarannya saat ‘dia’ di depan mata. Hanya saja aku takut terlalu keras jantungku berdetak hingga ’dia’ bisa mendengarnya. Aku ingin bisa mengatakan padanya bahwa...

”Aku gila! sebab kepalaku dipenuhi wajahmu! Aku tetap bisa melihat wajahmu terjaga ataupun terpejam! Aku benar-benar telah gila!”

Sayangnya bibirku rapat terkunci dan hanya bisa mematung saat ’dia’ di depan mata.

Begitulah aku ketika bertemu ’dia’, saat SMA. Kalau diingat-ingat lagi saat ini, rasanya benar-benar sinting. Bagaimana tidak? Aku merasa bahwa ’dia’ layaknya alkohol yang mempengaruhi saraf-saraf otakku sehingga yang ada di kepalaku adalah matanya, seragam sekolahnya, tas sekolahnya, sendalnya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. ’dia’ juga layaknya files yang memenuhi memory otakku hingga terkadang aku jadi seperti komputer yang error kebanyakan beban, melamun terbang ke awang-awang, dan sering memandang ke lapangan basket dari jendela kelas, siapa tahu ’dia’ akan lewat sana.

Ya, itulah pertama kalinya hatiku benar-benar tergenggam erat, dan tanpa perlawanan aku membiarkannya begitu saja. Ada sesuatu yang membuatku berani nekat begitu saja demi mencoba menyisipkan sedikit kebahagiaan di hari ulang tahunnya.

Aku pernah kabur dari asrama, malam hari, ditemani kawan-kawanku. Ke mana? Aku pergi ke Gramedia Matos demi membelikannya buku untuk ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Saat itu hampir jam 9 malam. Toko-toko banyak yang hampir tutup. Tapi aku tetap ingin mencarikannya buku. Ya, setidaknya bila ’dia’ tidak pernah tahu siapa pengirim buku itu, ’dia’ akan selalu ingat bahwa ada yang selalu mengagumi dan mendoakannya saat SMA.

Saat kami semua (santri asrama) telah menyelesaikan tadarus ba’da sholat subuh, dengan menggebu aku meminta mbak Endah untuk mengantarkanku menaruh hadiah ulang tahun yang telah kusiapkan. Mbak Endah mendapat info dari temannya tentang posisi bangku ’dia’. Langsung saja, pagi itu di kala matahari masih sedikit malu menampakkan sinarnya, aku berlarian menuju kelas ’dia’ bersama mbak Endah. Aku berharap bahwa pintu kelas itu telah dibuka kuncinya, dan ternyata benar, dengan begitu saja aku dan mbak Endah dapat masuk kelas itu.

Mencari bangku sesuai dengan intruksi sumber informasi, dan meletakkan hadiah beserta puisi tujuh belas tahun yang telah kupersiapkan lama sebelumnya. Aku berharap bahwa hadiah itu sampai tepat di tangannya. Sekali itu aku memberikannya hadiah, dan doa semoga segala pengharapannya dapat tercapai.

Tak pernah sekali pun aku mengatakan padanya, tak ada identitas apa pun pada puisi mau pun hadiahnya. Jadi mungkin sampai sekarang dia tak pernah tahu bahwa aku pernah kabur dari asrama saat malam hari demi membelikannya hadiah, mengendap-endap ke kelasnya di pagi buta demi meletakkan puisi tujuh belas tahunnya.

Kawan-kawanku yang telah menjadi tempat sampah curhatku pun geregetan. Mereka bilang padaku agar aku memberitahukannya bahwa akulah yang menaruh puisi itu. Atau mereka yang akan mengatakan pada ’dia’ setelah aku lulus terlebih dahulu sehingga aku tidak malu (aku masuk SMA dengan tahun angkatan yang sama dengan ’dia’, namun aku harus lulus terlebih dahulu sebagai konsekuensi mengikuti kelas akselerasi).

Aku telah memutuskan, dan mengatakan TIDAK. Biarkanlah dia tidak pernah tahu siapa pemilik hati yang telah tergenggam oleh semua pribadinya yang mengagumkan. Hanya satu yang perlu ’dia’ tahu : ada seseorang yang senantiasa mengaguminya saat SMA.

Aku rindu perasaan itu. Aku rindu untuk sungguh-sungguh menyukai seseorang, seperti di SMA. Berkali-kali aku punya rasa suka dan akhirnya menguap begitu saja, tak seperti saat di SMA. Terkadang aku iri pada kawanku yang jatuh cinta. Seolah-olah berjuta bunga mekar di sekitarnya, hingga membuat wajahnya begitu merona. Namun tak jarang juga bunga itu layu tak lama kemudian. Demikian pula perasaanku pada ’dia’, kini tak lagi bermekaran layaknya saat SMA, begitu sayu dan layu. Namun aku bahagia pernah memiliki perasaan itu, meski tak sempurna.

Aku tak mau bunga seperti itu. Meski aku tahu bahwa setiap bunga pasti mati, sungguh aku ingin melampaui batas logika itu. Aku lebih suka menganalogikan perasaan itu seperti udara saja. Udara tak perlu dicari, ia ada di sekitar kita dan bisa dirasakan setiap detik, tiap detak jantung, memberikan kehidupan saat menghirupnya dalam.

Aku rindu perasaan itu, dan terkadang pertanyaan itu muncul lagi, kapankah aku bisa merasakannya lagi?. Dan jawabannya pun masih tetap sama, entahlah, tapi aku mau menunggu.

sesuatuu...

:) --> :)
:D --> :D
:$ --> :$
:( --> :(
:p --> :p
;) --> ;)
:k --> :k
:@ --> :@
:# --> :#
:x --> :x
:o --> :o
:L --> :L
:O --> :O
:r --> :r
:y --> :y
:t --> :t
:s --> :s
:~ --> :~
:v --> :v
:f --> :f
:d --> :d
:c --> :c
:z --> :z

Jumat, 25 November 2011

Purnamaku :)

pernah diposting di facebookqq..


Aku bertanya pada purnama,
“Mengapa hanya hadir sesaat?
Mengapa tidak setiap malam?
Atau bahkan setiap waktu?
Biar aku bisa tersenyum pada indahmu,”

Lalu kau tersenyum
Dan seolah menjawabku,
“Aku hadir pada waktuku
Itulah keanggunanku
Supaya kau pupuk rindu untukku”

Ilmu

pernah diposting di facebookqu..


Tak perlu minyak kesturi untuknya
Sebab wanginya melebihi wangi dunia
Ia membawakan cahaya
yang memusnahkan buta
Buta akan hati
buta akan jiwa

Aku Putri Tidur?

pernah diposting di facebook aq..


Tidur merupakan anugerah. Tapi bagaimana bila terlalu mudah tidur di mana saja? Hah, itu lagi... tidak tahu bagaimana proses dan asal muasalnya, tapi yang jelas aku mudah sekali untuk tidur –kecuali bila terlalu konsentrasi-. Dan aku menyadari semua ini sewaktu duduk di kelas 6 MI.

Hampir di semua mata pelajaran selalu mengantuk, dan yang lebih parahnya, meski aku berusaha memelekkan mata selebar-lebarnya, tetaplah aku tidak berdaya –lebay-. Bahkan aku telah berusaha melakukan segala cara agar tidak tidur sampai akhir pelajaran –menyiapkan permen, memelototkan mata, menyiapkan air minum di laci meja untuk mengucek mata-, alah! Semuanya tidak berguna. Ditambah lagi, MI-ku memulangkan murid-muridnya jam 3 sore, plus pelajaran tambahan saat kelas 6 hingga pulang jam setengah 5 sore, huff.

Berlanjut hingga ke MTs, di mana tiada hari tanpa tidur di kelas. Suatu hari aku tertidur dengan menopangkan dagu ke tangan dan posisi membelakangi meja guru. Otomatis kepalaku bergoyang-goyang –seperti kebanyakan orang yang mengantuk-. Dari singgasananya, bu Miftah –guru Aqidah Akhlakku di kelas 1- memperingatkan aku supaya aku tidak mengobrol (dengan teman sebangkuku yang posisinya berada di hadapanku).

”Ila, jangan ngobrol sendiri, LKSnya sudah selesai belum?” begitu kata bu Miftah.

Tapi tak ada sahutan dariku, yang ada kepalaku malah tambah bergoyang, dan itu membuat bu Miftah memperingatkan aku lebih dari sekali.

”Ila! Farida –teman sebangkuku-! Jangan ngobrol sendiri!” peringatan selanjutnya dari bu Miftah.

Kelas hening dan semua mata tertuju pada bangkuku, tapi aku belum bangun juga! Dengan dagu tertopang di tangan serta kepala yang bergoyang. Akhirnya Farida angkat bicara.

”Maaf Bu, Ila tidur, kami tidak mengobrol,” lapornya dengan polos.

Kelas langsung ramai dengan tawa sehingga aku terbangun, oh no!! Semua tertawa dengan bola mata tertuju padaku. Huff! Bu Miftah pun tak lepas dari tawanya dan menyuruhku untuk cuci muka.

Hah... aku mengingat lagi ini. Sewaktu kecil aku suka bila diajak bapak jalan-jalan naik motor. Bila diajak naik motor aku selalu meminta duduk di depan bapak –layaknya anak kecil lainnya-. Girang sekali rasanya, mulutku tidak henti mengoceh, tapi tidak berlangsung lama, sebab aku hampir oleng gara-gara tidur. Akhirnya bapak menghentikan sepeda motornya dan menungguku bangun –tanpa membangunkanku-. Setelah aku bangun, dengan wajah tanpa dosa aku bertanya pada bapak,

”Kok berhenti? Ayo jalan Bapak!” kataku merajuk, dan bapak hanya tertawa.

”Kalau bubuk, sampean turun di sini saja ya, Bapak wangsul –pulang-,” jawab bapak dan aku hanya melongo. Itu peringatan bapak supaya aku tidak tidur.

Setelah kejadian itu, bila aku jalan-jalan dengan bapak, maka ibuku tidak lupa membawakan bapak jarit –semacam kain batik panjang untuk menggendong anak kecil-. Supaya bila aku tertidur, bapak bisa mengaitkan tubuhku yang kecil pada tubuhnya dengan jarit itu. Hahaha...

Hmmmh.. meski diperingatkan berkali-kali oleh bapakku bila aku PP –pergi pulang- blitar-malang supaya tidak tertidur, tetap saja aku tertidur. Tidak hanya sekali aku pernah tidur di bahu orang yang tidak kukenal –di bis maupun kereta-, laki-laki ataupun perempuan. Untungnya dari semua orang yang menjadi korban(ngantuk)ku tidak ada yang marah sama sekali –hahaha-. Mereka malah tersenyum (dan semoga itu tulus) saat aku meminta maaf dengan ekspresi malu yang mendalam.

Yah, apa pun yang diberikan Tuhan padaku, (harus) aku syukuri. Aku sempat protes –dahulu-, mengapa aku mudah sekali tertidur? Bagaimana bila saat aku tidur di bis ada yang mencopetku, bagaimana bila aku jatuh dari motor saat dibonceng temanku lalu kecelakaan hanya gara-gara tidur, bagaimana bila aku tertimpa plafon langit-langit hanya karena tidur hingga tidak merasakan gempa, dan lain-lain, dan lain-lain. Tapi pada kenyataannya, semua itu tak pernah terjadi (dan semoga tidak pernah).

Ini sebuah nikmat. Berapa banyak orang yang insomnia. Berapa banyak orang yang harus pergi ke dokter hanya untuk pil kecil perangsang tidur. Berapa banyak orang yang mengeluh karena susah sekali untuk tidur. Dan aku? Aku mudah sekali untuk tidur (bahkan di mana saja).

Biar saja teman-temanku memberi aku begitu banyak julukan –putri tidur, naumi, tidur online, dll-. Aku cukup tersenyum, sebab ini nikmat (bagiku). Hanya saja satu kekuranganku, aku masih belum bisa mengontrolnya!!!

Sabtu, 16 April 2011

Muhammadiyah, NU, dan Keluargaku

pernah diposting di facebook aq


Bagaimana bila kau hidup di antara dua pandangan yang berbeda? Aku, keluarga ibuku diwarnai nuansa Muhammadiyah. Keluarga bapakku diwarnai nuansa NU.

Kedua orangtua bapak dan ibuku (kakek-kakekku) memangku masjid –istilah untuk keluarga yang mengurusi masjid-. Bila sholat subuh berjamaah di masjid keluarga bapak, maka di situ ada qunut, dan sebaliknya bila berjamaah sholah subuh di masjid keluarga ibuk.

Pemakaian qunut pada sholat subuh hanya salah satu perbedaan, masih banyak perbedaan lain dalam hal furu’. Namun yang aku kagumi, dua orang dari latar belakang berbeda dapat menjadi satu dan saling melengkapi.

Begitu pun dalam keluargaku. Bapak dan ibu tak pernah memaksakan pemahaman pada anak-anak mereka –mas ulin, mas fuad, dan aku-. Kami diperbolehkan memilih, namun harus memiliki dasar yang jelas –ittiba’-, bukan hanya sekedar ikut-ikutan –taqlid-.

Aku cukup bahagia dengan perbedaan-perbedaan itu. Aku tidak mau (menjadi) fanatik pada salah satu golongan. Apa yang menurutku baik akan aku ikuti, bila tidak, aku hindari –tanpa menyakiti perasaan salah satu pihak-.

Berada di antara dua pandangan yang berbeda membuatku selalu berhati-hati dalam menentukan tindakan dan kata-kata. Aku tak mau menyakiti salah satunya. Aku hanya tinggal beradaptasi dengan perbedaan itu –dan tak perlu ngotot-.

Hanya yang membuatku gemas adalah orang-orang yang memper’tuhan’kan pendapat mereka -menganggap hanya pendapatnya yang benar, dan kelompok lain salah-.

Mengapa perbedaan furu’ saja bisa jadi perselisihan?

Baik NU maupun Muhammadiyah, pasti punya dasar untuk membuat keputusan. Cendekiawan mereka berijtihad, tidak asal-asalan saja. Dan bukankah menerima pendapat yang berbeda akan menstimulus kita untuk lebih berfikir bahwa tidak ada manusia yang sempurna?

Jujur, hatiku terusik saat ada yang memperdebatkan dua pandangan itu. Bila orang NU mempertentangkan Muhammadiyah, hatiku sakit sebab keluargaku di sana. Bila orang Muhammadiyah mempertentangkan NU, hatiku sakit sebab keluargaku ada di sana.

Perbedaan bisa menjadi indah bila kita bisa saling menghormati dan menjaga. Kedua keluargaku –keluarga bapak dan keluarga ibuk- saja bisa. Tidak ada pertentangan dalam perbedaan, sebab adanya kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.

Aku berada di antara dua keluarga yang berbeda dalam hal furu’, tapi kami sama dalam beragama. Satu Tuhan, satu Rasul, satu Kitab Suci. Maka aku (merasa lebih suka bila) tak menyebut keluargaku NU atau Muhammadiyah, tapi aku menyebut ’Keluargaku Islam’, dan (terasa) leburlah segala perbedaan.

Metode Pendidikan Islam; Pendidikan Melalui Keteladanan

Judul makalah : Metode Pendidikan Islam; Pendidikan Melalui Keteladanan
Makalah Teori Belajar dan Pembelajaran
Malang : Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, Mei 2010


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Dalam Al Quran dan Sunnah Nabi SAW dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Metode tersebut mampu menggugah puluhan ribu kaum mu’minin untuk membuka hati umat manusia agar dapat menerime petunjuk Ilahi dan kebudayaan Islami, di samping mengokohkan kedudukan mereka di muka bumi dalam masa yang sangat panjang, suatu kedudukan yang belum pernah dirasakan oleh umat-umat lain di muka bumi. Pembahasan tentang metodologi pendidikan Islami ini mengandung harapan, kiranya penulis dapat memetik petunjuk mengenai metodologi pendidikan Islami tersebut.
Banyak metodologi pendidikan Islam, dalam makalah ini penulis membahas tentang metode pendidikan Islam melalui keteladanan. Kehidupan ini sebagian besar dilalui dengan saling meniru atau mencontoh oleh manusia yang satu dengan yang lainnya. Kecenderungan mencontoh itu sangat besar pengaruhnya pada anak-anak, sehingga sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan. Sesuatu yang dicontoh, ditiru, atau diteladani itu mungkin yang bersifat baik dan mungkin pula bernilai keburukan. Untuk itu bagi umat Islam, keteladanan yang paling baik dan utama, terdapat di dalam diri dan pribadi Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana firman Allah SWT :



“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.”
Dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya. Dengan keteladanan itu diharapkan anak didik akan mencontoh segala sesuatu yang baik di dalam perkataan maupun perbuatan pendidiknya.

I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pentingnya figur keteladanan
2. Nilai edukatif yang teraplikasikan
3. Landasan psikologis keteladanan
4. Nilai-nilai edukatif dalam keteladanan

I.3 Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Berdasarkan pada rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang pentingnya figur keteladanan.
2. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang nilai edukatif yang teraplikasikan.
3. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang landasan psikologis keteladanan.
4. Untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang nilai-nilai edukatif dalam keteladanan


BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pentingnya Figur Keteladanan
a. Kita mungkin saja dapat menemukan suatu sistem pendidikan yang sempurna, menggariskan tahapan-tahapan yang serasi bagi perkembangan manusia, menata kecenderungan dan kehidupan psikis, emosional maupun cara-cara penuangannya dalam bentuk perilaku, serta strategi pemanfaatan potensinya sesempurna mungkin. Akan tetapi semua ini masih memerlukan realisasi edukatif yang dilaksanakan oleh seorang pendidik. Pelaksanaannya itu memerlukan seperangkat metode dan tindakan pendidikan, dalam rangka mewujudkan asas yang melandasinya, metode yang merupakan patokannya dalam bertindak serta tujuan pendidikannya yang diharapkan dapat dicapai. Ini semua hendaknya ditata dalam suatu sistem pendidikan yang menyeluruh dan terbaca dalam perangkat tindakan dan perilaku yang konkrit.
Oleh karena itu Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW agar menjadi teladan bagi seluruh umat manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan Islami tersebut :
Aisyah RA pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW. Ia menjawab, bahwa akhlak beliau adalah Al Quran.
b. Dengan kepribadian, sifat tingkah laku dan pergaulannya bersama sesama manusia, Rasulullah SAW benar-benar merupakan interpretasi praktis yang manusiawi dalam menghidupkan hakikat, ajaran, adab, dan tasyri’ Al Quran, yang melandasi perbuatan pendidikan Islam serta penerapan metode pendidikan Qurani yang terdapat di dalam ajaran tersebut.
c. Manusia telah diberi fitrah untuk mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi mereka, yang menerangi jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan kepada mereka bagaimana seharusnya melaksanakan syariat Allah. Oleh karena itu untuk merealisasikan risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para RasulNya yang menjelaskan kepada manusia syariat yang diturunkan Allah kepada mereka. Allah SWT berfirman :

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (43) keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (44).”
d. Fitrah ini tampak pada umat manusia dalam kondisi yang mungkin asing bagi mereka artinya : mungkin bagi sebagian mereka tampak asing, tetapi bagi sebagian yang lain tidak. Hal seperti ini pernah terjadi sewaktu Allah menghendaki agar RasulNya menikah dengan istri Zaid, anak angkat Rasulullah SAW. Allah menghendaki yang demikian itu untuk menerangkan kepada umat manusia secara praktis, bahwa Zaid (anak angkat) sedikit pun tidak mempunyai bagian dari hak-hak atau peraturan-peraturan keanakan yang alami. Allah SWT berfirman :

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
e. Fitrah ini juga tampak dalam kondisi yang mungkin memerlukan pengorbanan, seperti perang, infak, dan lain sebagainya. Dalam beberapa peperangan, Rasulullah SAW tampil bersama para sahabat atau setidak-tidaknya memimpin mereka dari markas komando. Dalam perang khandaq, beliau langsung turun tangan ikut mengangkat batu, menggali parit bersama para sahabat, dan belepotan tanah seperti para sahabatnya itu. Dengan tindakannya itu beliau tampil sebagai contoh teladan yang patut ditiru para pendidik untuk langsung turun tangan bersama anak buahnya, maka umat Islam mengagumi keberanian dan kesabarannya serta meneladani perbuatannya itu.
Rasulullah SAW tampil pula sebagai teladan dalam kehidupan suami-istri, dalam kesabaran menghadapi keluarganya, dan dalam mengarahkan istri-istrinya dengan baik. Beliau bersabda :
“Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Hibban).
Kehidupan Rasulullah SAW sebagai ayah, kebaikannya dalam berinteraksi dengan anak kecil, para sahabat, dan tetangganya, juga merupakan teladan. Beliau senantiasa berupaya memenuhi berbagai kebutuhan kaum muslimin. Beliau adalah manusia yang paling memenuhi janjinya, manusia yang terpercaya dalam memegang barang titipan, manusia yang paling wara dan hati-hati dalam memelihara harta titipan Allah dan dalam mengonsumsi makanan sehingga beliau tidak pernah memakan harta zakat. Dalam kondisi bagaimana pun, beliau senantiasa tampil teguh dan tidak kehilangan semangat karena beliau meyakini bahwa Allah senantiasa menjadi sumber kekuatan sehingga beliau tetap memperoleh kesabaran.

II.2 Nilai Edukatif yang Teraplikasikan
Tinjauan dari sudut ilmiah menunjukkan bahwa pada dasarnya keteladanan memiliki sejumlah azas kependidikan berikut ini :
Pertama, pendidikan Islami merupakan konsep yang senantiasa menyeru pada jalan Allah. Dengan demikian, seorang pendidik dituntut untuk menjadi teladan di hadapan anak didiknya, bersegera untuk berkorban, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang hina. Artinya, setiap anak didik akan meneladani pendidiknya dan benar-benar puas terhadap ajaran yang diberikan kepadanya sehingga perilaku ideal yang diharapkan dari setiap anak merupakan tuntutan realistis dan dapat diaplikasikan. Begitu juga dengan orang tua; anak-anak harus memiliki figur teladan dalam keluarganya sehingga sejak kecil dia terarahkan oleh konsep-konsep Islam. Dengan begitu, para pendidik dan orang tua harus menyempurnakan dirinya dengan akhlak mulia yang berasal dari Al Quran dan dari perilaku Rasulullah SAW.
Kedua, sesungguhnya Islam telah menjadikan kepribadian Rasulullah SAW sebagai teladan abadi dan aktual bagi pendidik dan generasi muda sehingga setiap kali kita membaca riwayat beliau, semakin bertambahlah kecintaan dan hasrat kita untuk meneladani beliau. Yang perlu kita garisbawahi, Islam tidak menyajikan keteladanan ini untuk menunjukkan kekaguman yang negatif atau perenungan yang terjadi dalam alam imajinasi belaka. Islam menyajikan keteladanan ini agar manusia menerapkan suri teladan ini kepada dirinya sendiri. Setiap orang harus mengambilnya sesuai dengan kesanggupan dan bersabar dalam menggapai puncak perolehannya. Demikianlah, keteladanan dalam Islam senantiasa terlihat dan tergambar jelas sehingga tidak beralih menjadi imajinasi kecintaan spiritual tanpa dampak yang nyata. Barangkali yang mempermudah transfer keteladanan itu ialah kesiapan peniruan yang menjadi karakteristik manusia.

II.3 Landasan Psikologis Keteladanan
Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain (empati) sehingga dalam peniruan ini, anak-anak cenderung meniru orang dewasa; kaum lemah cenderung meniru kaum kuat; serta bawahan cenderung meniru atasannya. Naluri ketundukkan pun bisa dikategorikan sebagai pendorong untuk meniru, terutama anggota suatu kelompok pada pemimpin kelompok tersebut. Dan dalam perkembangannya, naluri untuk meniru itu mulai terarahkan dan mencapai puncaknya ketika konsep pendidikan Islam mulai ditegakkan sehingga naluri meniru disempurnakan oleh adanya kesadaran, ketinggian, dan tujuan yang mulia. Hal itu akan menjadi jelas jika kita mengetahui unsur-unsur peniruan dan azas-azasnya.
Pada hakikatnya, peniruan itu berpusat pada tiga unsur berikut ini :
Pertama, kesenangan untuk meniru dan mangikuti. Lebih jelasnya hal itu terjadi pada anak-anak dan remaja. Mereka terdorong oleh keinginan samar yang tanpa disadari membawa mereka pada peniruan gaya bicara, cara bergerak, cara bergaul, atau perilaku-perilaku lain dari orang yang mereka kagumi. Masalah timbul ketika mereka bukan hanya meniru hal-hal positif. Pada gilirannya, mereka mulai meniru perilaku-perilaku buruk. Dalam hal ini Al Quran telah memberikan peringatan kepada para orang tua, terutama ayah. Ketika seorang ayah memberikan kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya, semaksimal mungkin dia harus berusaha untuk memelihara kedudukannya sebagai sosok teladan bagi anak-anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya :

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Allah menyifati hamba-hambaNya dengan sifat kasih sayang sehingga mereka berhasrat mendapat kesenangan melalui istri dan anak-anaknya, sebagaimana halnya mereka ingin menjadi imam dan teladan.
Rasulullah SAW mengingatkan kecenderungan saling pengaruh antarmanusia dan menyeru umat manusia untuk mewaspadai manfaat dan kerugian kecenderungan tersebut. Dari Abu ‘Amr dan Jarir bin Abdullah, Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa membuat sunnah (tradisi) yang baik di dalam Islam, maka ia akan menerima pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan sunnah itu hingga hari kiamat, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka itu. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia akan menerima dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka itu.” (HR Muslim).
Sabda Rasulullah SAW itu merupakan seruan kepada para sahabat untuk memberikan shadaqah kepada segolongan kaum yang miskin. Namun, tidak ada seorang pun yang melakukannya. Kemudian Rasulullah SAW mengulangi seruannya hingga bangkitlah para sahabat. Hasilnya, ada sahabat yang datang dengan sepikul kurma, kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya. Maka mereka berlomba-lomba membawa harta miliknya untuk disedekahkan. Setelah itu Rasulullah SAW menyeru lewat sabda di atas.
Kedua, kesiapan untuk meniru. Setiap periode usia manusia memiliki kesiapan dan potensi yang terbatas untuk periode tersebut. Karena itulah, Islam mengenakan kewajiban shalat pada anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun dengan tetap menganjurkan kepada orang tua untuk mengajak anaknya meniru gerakan-gerakan shalat. Namun, orang tua harus tetap memperhitungkan kesiapan dan potensi ketika anak-anak meniru seseorang.
Biasanya, kesiapan untuk meniru muncul ketika manusia tengah mengalami berbagai krisis, kepedihan sosial, dan kepedihan lainnya. Dari sanalah, manusia-manusia itu mencari anutan atau pemimpin yang seluruh perilaku individual dan sosialnya akan ditiru. Begitulah, kondisi lemah dapat membawa manusia pada peniruanterhadap pihak-pihak yang lebih kuat sehingga seorang anggota senantiasa meniru pemimpinnya dan seorang anak meniru ayahnya. Ibnu Khaldun, dalam Muqadimahnya mengingatkan kita pada konsep tersebut melalui argumen dan fakta sejarah yang menunjukkan hal itu. Sementara itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk mewaspadai hal-hal negatif yang terkandung dalam sikap meniru tersebut, terutama jika tujuan peniruan itu sendiri tidak jelas, sebagaimana sabdanya ini :
“Sesungguhnya kalian akan mengikuti tradisi orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” (Al Hadits).
Ketiga, setiap peniruan terkadang memiliki tujuan yang sudah diketahui oleh si peniru atau bisa jadi juga tujuan itu sendiri tidak jelas, bahkan tidak ada. Pada dasarnya, di kalangan anak-anak, peniruan lebih cenderung didorong oleh tujuan kehidupan yang difensif, yaitu kecenderungan mempertahankan dunia individual karena seolah-olah dia berada di bawah bayang-bayang individu yang kuat dan perkasa, yang membuat orang lemah menirunya. Dari peniruan ini, dia merasa memperoleh kekuatan dan keperkasaan, yaitu sejenis kekuatan individu yang menjadikan orang lain kagum sehingga menirunya dalam segala hal. Kegiatan meniru itu akan meningkat menjadi kegiatan berpikir yang memadukan kesadaran, keterkaitan, peniruan, dan perasaan bangga jika pada perkembangannya kesadaran dalam peniruannya meningkat. Dalam pendidikan Islam, peniruan yang berkesadaran ini meningkat menjadi ittiba’ yang jenisnya akan terus meningkat bila disertai petunjuk atau pengetahuan tentang tujuan dan cara peniruan. Sehubungan dengan konsep ini, Allah SWT telah berfirman :

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
Melalui konsep peniruan yang Islami, anak-anak didik kita akan memahami bahwa meniru dan mengikuti jejak para pemimpin kaum muslimin generasi pertama akan memberikan kebahagiaan, kekuatan, kegagahan, dan ketaatan kepada Allah. Dalam setiap shalatnya, mereka senantiasa mengharapkan anugerah kemampuan untuk tetap mengikuti mereka:


“Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7).”

II.4 Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Di antara tipe-tipe peneladanan, yang terpenting ialah :
a. Pengaruh Langsung yang Tak Disengaja
Keberhasilan tipe peneladanan ini banyak bergantung pada kualitas kesungguhan realisasi karakteristik yang diteladankan, seperti: keilmuan, kepemimpinan, keikhlasan, atau lain sebagainya. Dalam kondisi ini pengaruh teladan berjalan secara langsung tanpa disengaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang diharapkan menjadi teladan hendaknya memelihara tingkah lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggung jawab di hadapan Allah dalam segala hal yang diikuti oleh orang lain. Khususnya pada pengagumnya. Kualitas kewaspadaan dan keikhlasannya bertambah, seiring sejalan dengan derajat kekaguman serta tingkat peneladanan orang lain terhadapnya.
b. Pengaruh yang Sengaja
Kadangkala peneladanan diupayakan secara sengaja. Maka kita dapatkan umpamanya guru memberikan contoh membaca yang baik agar para pelajar menirunya, imam membaikkan shalatnya untuk mengajarkan shalat yang sempurna kepada orang-orang, dan komandan maju ke depan barisan di dalam jihad untuk menanamkan keberanian, pengorbanan, dan kegigihan di dalam jiwa pasukannya.
Para sahabat telah mempelajari berbagai urusan agama mereka dengan jalan mengikuti teladan yang sengaja diberikan Rasulullah SAW. Umpamanya, beliau bersabda kepada mereka :
“Shalatlah kalain sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari).
Juga dalam melaksanakan ibadah haji beliau menyuruh mereka supaya mencontohnya :
“Ambillah dariku cara-cara mengerjakan ibadah haji kalian.” (Al Hadits).
Sebagai contoh bahwa teladan beliau sangat diperhatikan, seorang sahabat bertanya kepada para tabi’in: “Apakah aku tidak shalat seperti shalat Rasulullah SAW sebagai contoh bagi kalian?”
Rasulullah SAW pernah shalat di atas mimbar. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa mimbar itu mempunyai tiga tingkat. Beliau berdiri di atas mimbar itu lalu bertakbir dan orang-orang bertakbir pula di belakangnya, sedangkan beliau berada di atas mimbar; lalu ruku’ dan beliau pun tetap berada di atas mimbar itu. Kemudian bangkit lalu turun mundur ke belakang hingga beliau sujud pada mimbar itu; kemudian beliau kembali, di dalam rakaat itu beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, hingga selesai shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada orang-orang, seraya bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti aku dan agar kalian mempelajari shalatku ini.” (HQ Bukhari Muslim).
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa kadang-kadang Rasulullah SAW memperdengarkan ayat di dalam shalat Dhuhur, padahal ia termasuk shalat-shalat yang bacaannya tidak dibaca terang.
Demikianlah Rasulullah SAW peletak pendidikan Islam, mengajarkan kepada kita agar pendidik mengajar dengan perbuatan-perbuatannya; menarik perhatian meeka supaya mencontohnya, karena dia sendiri mencontoh Rasulullah SAW dan hendaknya memperbaiki shalat, ibadah, dan tingkah lakunya secara sengaja, sehingga ia memperoleh pahala “orang yang membuat tradisi yang baik” hingga hari kiamat.


BAB III
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
a. Pentingnya Figur Keteladanan
Nabi Muhammad SAW merupakan suri teladan di dalam kehidupan. Beliau adalah figur suri teladan kebapakan dan dalam memperlakukan anak-anak kecil, dalam pergaulan dengan para sahabat serta tetangga dengan baik. Beliau selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslimin. Lebih lanjut beliau adalah orang yang paling teguh berpegang kepada janjinya, paling dipercaya dalam menjaga titipan, paling wara’ dan paling berhati-hati dalam makan harta sedekah, ataupun dalam menjaga harta kaum Muslimin yang dititipkan Allah SWT kepada beliau.
b. Nilai Edukatif yang Teraplikasikan
Apabila dikaji secara ilmiah dapatlah disingkap bahwa keteladanan bertopang pada azas pendidikan yang kuat serta memiliki implikasi paedagogis :
1. Pola pendidikan Muslim tercermin dari kehidupan da’i kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, ia perlu menjadi teladan bagi para pelajarnya, selalu siap dan rela berkorban, serta menghindari perbuatan yang tidak berarti.
2. Islam telah menjadikan pribadi Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang terus-menerus bagi seluruh pendidik, suri teladan yang selalu baru bagi generasi demi generasi, dan selalu aktual dalam kehidupan manusia; setiap kali kita membaca riwayat kehidupannya bertambah pula kecintaan kita kepadanya dan tergugah pula keinginan untuk meneladaninya.
c. Landasan Psikologis Keteladanan
Kebutuhan manusia akan teladan lahir dari gharizah (naluri) yang bersemayam dalam jiwa manusia, yaitu taqlid (peniruan). Ada tiga anasir taqlid :
1. Keinginan untuk meniru dan mencontoh.
2. Kesiapan untuk meniru
3. Tujuan
d. Nilai-nilai Edukatif dalam Keteladanan
Pola pengaruh keteladanan berpindah kepada peniru melalui beberapa bentuk, dan bentuk yang paling penting adalah :
1. Pemberian pengaruh secara spontan
2. Pemberian pengaruh secara sengaja.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Quran Digital Versi 2.0.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta : Gema Insani Press.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro.
Mazhairi, Husain. 2001. Pintar Mendidik Anak : Panduan Lengkap Bagi Orang-tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam. Jakarta : Lentera.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya : Al-Ikhlas.
Ramayulis. 1990. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Kalam Mulia.